Bagi masyarakat sekitar Pondok Pesantren Darussalam Dusun Watucongol, Desa Gunung Pring, Kecamatan Muntilan, jemunak akrab sebagai makanan berbuka puasa sejak zaman dahulu.

Hanya selama puasa Ramadhan, jemunak hadir di warung-warung desa sekitar ponpes itu dan lapak-lapak dadakan yang dibuka masyarakat untuk menyediakan aneka takjil di kota Kecamatan Muntilan.

Kisah tentang asal usul jemunak hingga saat ini sebatas takjil yang turun-temurun di kalangan masyarakat Gunung Pring.

Bahkan, ikon pembuat jemunak, Mulsaeru (89) alias Mbah Mul alias Mulyodinomo dari Dusun Karaharjan, Desa Gunung Pring, tetap tak mampu pula bercerita banyak meskipun telah berusaha keras menggali ingatannya tentang sebab musabah takjil itu bernama jemunak.

"Niku kerata basa," ujarnya dalam bahasa Jawa setelah berkali-kali mencoba menemukan kepanjangan kata "jemunak". Maksudnya adalah asal usul kata.

Namun, Mbah Mul mengungkapkan pengalamannya suatu ketika membuat jemunak di luar masa puasa Ramadhan, dan nyatanya tidak ada warga yang membelinya.

Di masyarakat setempat beredar berbagai "wangsalan" atau "kerata basa" atas sebutan "jemunak". Salah satu ungkapan persamaan yang populer dalam bahasa Jawa adalah "Ngajeng-ajeng nemu kepenak".

Kira-kira maksud ungkapan tersebut, setiap orang berharap menemukan kehidupan yang tenteram, damai, sejahtera, dan saleh karena menjalani puasa Ramadhan secara khusyuk serta atas rida Allah SWT.

Isteri Mbah Mul, Mujilah, begitu juga. Nenek berumur 83 tahun itu juga tak tahu banyak sejarah lokal tentang jemunak.

Hal yang ia ingat bahwa pada masa lampau cukup banyak warga kawasan ponpes tersebut yang membuat jemunak setiap Bulan Puasa. Namun, saat ini hanya beberapa warga yang masih membuatnya untuk dijual di warung-warung setempat selama Ramadhan.

"Dulu ada Mbah Moyong, 25 tahun membuat jemunak, tapi dia sudah meninggal," kata Mujilah yang 20 tahun terakhir menjadi pembuat takjil tersebut.

Sejak empat Ramadhan terakhir, Mbah Mul sudah tidak kuat lagi fisiknya membuat jemunak, terlebih untuk menumbuk parutan singkong dan beras ketan.

Namun, hampir setiap orang di Desa Gunung Pring akan menyebut nama Mbah Mul ketika ditanya siapa pembuat jemunak. Ny Mujilah atau Mbah Mul Putri bersama empat anak dan cucu menantu perempuannya meneruskan kebiasaan setiap Ramadhan Mbah Mul kakung membuat jemunak.

Mereka membuat jemunak setiap hari, dengan proses sejak pagi hingga saat ashar, sebelum menu tersebut dibungkusi daun pisang dan beredar di warung-warung takjil, terutama di kawasan Muntilan, kota terbesar di antara 21 kecamatan di Kabupaten Magelang.

Hanya sampai hari ke-27 Bulan Puasa, mereka membuat jemunak untuk dijual, karena mulai H-3 Lebaran, keluarga besar Mbah Mul sudah harus menyiapkan segala keperluan rumah tangga untuk merayakan Idul Fitri.

Pembuatan jemunak, dimulai dengan mengupas dan memarut singkong lalu mengukusnya hingga setengah matang. Beras ketan juga dikukus setengah matang. Mbah Mul Putri mengukus bahan pokok itu menggunakan tungku dan kayu bakar di gubug belakang rumahnya yang sederhana di tengah perkampungan warga Dusun Karaharjan.

Parutan singkong dan ketan yang telah dikukus setengah matang kemudian ditumbuk menggunakan lumpang hingga legit. Mbah Mul Putri pun sudah tak sehebat lagi tenaganya seperti dahulu karena sudah tua, sehingga urusan menumbuk singkong dan ketan dilakukan anak-anak dan cucunya.

Singkong dan ketan yang telah ditumbuk hingga legit kemudian dikukus lagi hingga matang, untuk selanjutnya dibungkusi dengan daun pisang. Sebelum daun kelapa dikunci dengan biting (potongan lidi), setiap bungkusan jemunak ditaburi parutan kelapa yang telah dicampuri sedikit garam.

Untuk menyantap jemunak, takjil itu terlebih dahulu disirami air gula kelapa atau gula jawa. Rasa manis jemunak pun diperoleh.

Rata-rata setiap hari, Mbah Mul membutuhkan 32 kilogram singkong, tujuh kilogram beras ketan, tujuh kilogram gula jawa, dan delapan kelapa, untuk membuat 750 hingga 1.000 bungkus jemunak dengan harga Rp1.500 per bungkus.

Sebagian jemunak diantar sendiri menggunakan nampan oleh Mbah Mul Putri ke sejumlah warung di dusun setempat, dan sebagian lainnya diambil para pedagang takjil di beberapa tempat di kawasan Muntilan.

"Setiap warung umumnya menyajikan 20 bungkus jemunak," kata Poniseh, salah satu anak perempuan Mbah Mul yang siang itu (29/5) bersama lainnya sibuk membuat jemunak.

Ia ungkapkan syukur atas jasa seorang mantan anggota DPRD Kabupaten Magelang asal desa setempat Mulyanto (almarhum), yang memberi informasi kepada sejumlah wartawan lokal tentang jemunak.

Atas sedikit informasi dari anggota dewan dari PDI Perjuangan tersebut, beberapa wartawan pada era awal 2000-an itu, mendatangi rumah Mbah Mul untuk melakukan peliputan tentang pembuatan jemunak.

Ketika itu, bertepatan dengan Bulan Puasa. Mbah Mul secara fisik masih kuat menumbuk jemunak dengan lumpang di pekarangan belakang rumahnya. Di tengah kesibukan membuat jemunak, ia juga sabar melayani wawancara dengan sejumlah wartawan.

Sejak saat itu, kabar tentang jemunak menjangkau wilayah lebih luas, hingga keluar Desa Gunung Pring. Jemunak menjadi populer dan makin memperkuat suasana khas Ramadhan di kawasan Ponpes "Darussalam" Watucongol.

Seorang warga Desa Ngawen, tak jauh dari Gunung Pring, Yoyok, siang itu datang mendekati pintu dapur rumah Mbah Mul untuk memesan terlebih dahulu 10 bungkus jemunak.

Disodorkannya uang kertas berjumlah Rp15.000 kepada Poniseh, sebagai tanda pesanan takjil, lalu ia meninggalkan tempat itu. Pembuatan jemunak masih tahap membungkus menu itu dengan daun pisang. Seorang lainnya yang cucu menantu Mbah Mul masih memarut singkong lainnya untuk pembuatan jemunak angkatan berikutnya.

"Kalau ndak pesan dulu, seperti kemarin saya kesorean ke sini, sudah kehabisan," katanya.

Baginya, berbuka puasa bersama keluarga belum afdal tanpa jemunak tersaji di meja. Setiap Ramadhan, di rumahnya selalu ada takjil khas Gunung Pring yang cerita kesejarahan lokalnya hingga saat ini belum tergali secara gamblang itu.

Kandungan karbohidrat dan rasa manis karena sentuhan air gula jawa pada jemunak, memang menjadikan menu itu terasa pas untuk santapan pelepas puasa. Oleh karenanya, jemunak hingga saat ini menjadi sajian yang enak bagi masyarakat setempat saat berbuka puasa.

Menyantap jemunak bukanlah sekadar menyantap secara kebendaan atas takjil tersebut, tetapi juga mengantarkan kaum muslim merefleksikan jalan berpuasa sebagai upaya khidmat melatih pengendalian diri, dengan pengharapan kuat mencapai kehidupan "kepenak", penuh hidayah dan anugerah, serta genggaman berkah.