Jakarta (ANTARA News) - Direktur Imparsial, Al Araf, mengatakan, pelibatan militer (TNI) dalam mengatasi terorisme tidak perlu dimasukan dalam revisi UU Terorisme karena hal itu telah diatur dalam UU tentang TNI Nomor 34/2004.

"Pelibatan militer dalam mengatasi terorisme sesungguhnya sudah diatur secara tegas dalam pasal 7 ayat 2 dan ayat 3 UU TNI Nomor34/2004," katanya, dalam siaran pers di Jakarta,, Selasa.

Dalam pasal 7 ayat 2 UU Nomor 34/2004 dikatakan, tugas pokok TNI dalam operasi non militer di antaranya mengatasi aksi terorisme. Sedangkan ayat 3 menyatakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.

Ia mengatakan, mengacu pada pasal itu sebenarnya presiden sudah memiliki otoritas dan landasan hukum yang jelas untuk dapat melibatkan militer dalam mengatasi terorisme sepanjang ada keputusan politik negara.

"Karena itu, keinginan presiden untuk melibatkan militer dalam mengatasi terorisme sebenarnya sudah bisa dilakukan tanpa harus mengatur pelibatan militer dalam revisi UU Antiterorisme karena sudah ada dasar hukumnya dalam UU TNI," katanya.


TNI memiliki cukup lengkap satuan yang berkemampuan anti teror dan hal ini sudah teruji lama. Mereka adalah Satuan B-90 Bravo Korps Pasukan Khas TNI AU, Detasemen Jalamangkara Korps Marinir TNI AL dan Komando Pasukan Katak TNI AL, serta Satuan 81 Komando Pasukan Khas TNI AD.




Secara terpisah, Panglima TNI, Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, menyatakan teror dan jaringan terorisme adalah ancaman nyata bagi negara.

Dalam praktiknya selama inipun, militer juga sudah terlibat dalam mengatasi terorisme sebagaimana terjadi dalam operasi perbantuan di Poso, katanya.

Ia mengatakan, pelibatan militer dalam mengatasi terorisme itu bentuk tugas perbantuan menghadapi ancaman terorisme yang secara nyata mengancam kedaulatan dan keutuhan teritorial negara.

"Di sini pelibatan militer seharusnya menjadi pilihan terakhir yang dapat digunakan presiden jika seluruh komponen pemerintah lainnya sudah tidak lagi dapat mengatasi aksi terorisme," katanya.

Ia mengatakan, lebih tepat jika pelibatan militer itu cukup mengacu pada UU TNI. Selain itu, menurut dia, pemerintah dan DPR seharusnya segera membentuk UU Perbantuan sebagai aturan main lebih lanjut untuk menjabarkan seberapa jauh dan dalam situasi apa militer dapat terlibat dalam operasi militer selain perang yang salah satunya mengatasi terorisme.

Pengaturan pelibatan militer dalam revisi UU Antiterorisme tanpa melalui keputusan politik negara akan menimbulkan tumpang tindih fungsi dan kewenangan antara aktor pertahanan dan keamanan.


Selain itu juga mengancam kehidupan demokrasi dan HAM, melanggar prinsip supremasi sipil dan dapat menarik militer kembali dalam ranah penegakan hukum sehingga dapat merusak mekanisme criminal justice system.

"Dan tentunya hal itu akan berlawanan dengan arus reformasi yang sudah menghasilkan capaian positif meletakkan militer sebagai alat pertahanan negara demi terciptanya tentara yang profesional," katanya.