Jakarta (ANTARA News) - Dirjen Industri Kecil Menengah Kementerian Perindustrian Gati Wibawaningsih menyampaikan bahwa sektor industri alas kaki nasional berhasil menduduki peringkat ke-5 sebagai eksportir di dunia setelah Tiongkok, India, Vietnam, dan Brasil.






Sementara pangsa pasar di pasar internasional mencapai 4,4 persen, di mana berdasarkan data Trade Map, pertumbuhan ekspornya positif dari 4,85 miliar dollar AS pada tahun 2015 atau naik 3,3 persen menjadi 5,01 miliar dollar AS pada2016.



“Peningkatan kinerja ekspor alas kaki Indonesia tersebut melebihi pertumbuhan nilai ekspor dunia yang hanya sekitar 0,19 persen. Hal ini menunjukkan bahwa produk alas kaki dalam negeri memiliki daya saing di atas rata-rata dunia,” kata Gati melalui siaran pers di Jakarta, Minggu.



Gati mecontohkan, Ekuator, sepatu premium lokal berkualtas internasional diyakini mampu menembus pasar global ke depannya,




“Sepatu yang dirintis oleh Kemenperin melalui Balai Pengembangan Industri Persepatuan Indonesia (BPIPI) ini telah memenuhi tingkat komponen dalam negeri (TKDN) hingga 80 persen. Pada akhir tahun 2017, Ekuator akan hadir pada salah satu trade show bergengsi di benua Eropa,” tuturnya.



Direktur IKM Kimia, Sandang, Aneka dan Kerajinan Kemenperin E Ratna Utarianingrum menyampaikan, pertumbuhan alas kaki didorong karena tren fashion yang cepat berkembang.




”Pada tahun 2020, pangsa pasar alas kaki nasional ditargetkan sebesar 10 persen ke pasar dunia. Kami optimis bisa tercapai karena seiring dengan pertambahan penduduk, maka semakin tinggi kebutuhan sepatu,” ucapnya.



Ratna menuturkan, industri alas kaki nasional lebih banyak dihasilkan oleh industri besar dan menengah baik dari segi nilai maupun dalam jumlah produksi.




Untuk sebaran industri kecil dan mikro alas kaki di seluruh Indonesia, sebanyak 82 persen berada di provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur.




Konsentrasi sektor tersebut di wilayah Jawa Barat, meliputi Bogor, Bandung, dan Tasikmalaya. Sedangkan, Jawa Timur, berada di Pasuruan, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, dan Magetan.



Namun untuk industri penyamakan kulit di dalam negeri, tantangan yang tengah dihadapi saat ini, di antaranya adalah kekurangan bahan baku kulit mentah.




Pasalnya, pasokan dari domestik baru memenuhi sekitar 36 persen dari total kapasitas industri penyamakan kulit.




“Itupun kualitas bahan bakunya masih perlu ditingkatkan lagi untuk proses produksi selanjutnya,” ungkap Ratna.



Selain itu, prosedur karantina untuk kulit dan pembatasan asal negara impor kulit juga menjadi kendala lainnya.




“Kemudian, tingginya ketergantungan impor bahan baku, bahan penolong dan aksesoris, sehingga kenaikan kurs dollar juga sangat berpengaruh terhadap struktur biaya produksi alas kaki,” sebutnya.



Untuk lebih meningkatkan daya saing industri alas kaki, produk kulit dan pakaian jadi dalam negeri, Kemenperin memberikan fasilitasi pendampingan dan restrukturisasi mesin kepada industri.




Selain itu, Kemenperin juga menyusun program pendidikan vokasi industri untuk menciptakan tenaga kerja yang kompeten.




“Kami telah berkerja sama dengan perusahaan alas kaki dan garmen untuk menyiapkan tenaga kerja terampil yang dapat langsung terserap oleh dunia industri,” imbuh Ratna.