Menteri PUPR Hadiri 9th High Level Experts and Leaders Panel on Water and Disasters
20 Mei 2017 13:39 WIB
Delegasi dari berbagai negara hadir pada pertemuan 9th High Level Experts and Leaders Panel on Water and Disasters di Chengdu, Tiongkok, Jumat (19/5) guna membahas isu pengelolaan resiko bencana terkait air. (Antara)
Chengdu, Tiongkok (Antara) - Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono hadir mewakili Pemerintah Indonesia dan menjadi pembicara kunci dalam pertemuan 9th High Level Experts and Leaders Panel on Water and Disasters (HELP) di Chengdu, Republik Rakyat Tiongkok (RTT), Jumat (19/5). Pertemuan tersebut merupakan lanjutan dari pertemuan HELP ke-8 yang diselenggarakan pada Oktober 2016 lalu di Jakarta.
Pertemuan kali ini membahas bencana terkait air seperti banjir, kekeringan dan tsunami yang frekuensinya semakin sering dan menimbulkan dampak yang semakin serius bagi pembangunan berkelanjutan.
Dalam paparannya, Menteri Basuki menyampaikan tujuh kesimpulan hasil pertemuan HELP ke-8 untuk dapat digunakan dalam rencana aksi pengurangan bencana terkait air yang dibahas dalam pertemuan HELP ke-9.
"Tujuh poin kesimpulan tersebut dapat digunakan dalam rencana aksi HELP terkait bencana yang berhubungan dengan air,†kata Menteri Basuki.
Secara rinci, Menteri Basuki menjelaskan tujuh poin tersebut yakni pertama, menumbuhkan kesadaran masyarakat terhadap bencana. Apalagi Indonesia adalah negara yang rawan bencana, terutama berkaitan dengan air. Penanggunalangan bencana di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No.24/2007, di mana manajemen resiko bencana melibatkan masyarakat sipil, pemerintah, swasta, kalangan akademisi dan komunitas ilmuwan. Dalam pelaksanaannya di bawah tanggung jawab Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), di mana di dalamnya Kementerian PUPR juga memiliki peran penting dan bertanggung jawab mulai dari fase tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi.
“Hal ini menjadi yang pertama dan krusial dalam keberhasilan pengelolaan resiko bencana,†jelasnya.
Kedua, perlunya program dan kebijakan penanggulangan bencana. Indonesia sendiri telah memiliki program dan kebijakan yang secara jelas dan rinci tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Sebagai contoh, untuk melindungi masyarakat dari banjir dan kekeringan, berdasarkan RPJMN, Pemerintah melalui Kementerian PUPR menargetkan pembangunan 65 bendungan dalam lima tahun (2015-2019).
Ketiga, pentingnya kerja sama baik secara bilateral, multilateral dan antar institusi dalam penanggulangan bencana yang berkaitan dengan air. Indonesia bekerja sama dengan Tiongkok dan masih terus berlanjut untuk ke depan, salah satunya dalam pembangunan Bendungan Jati Gede yang telah selesai pada 2015. Indonesia juga bekerja sama dengan Pemerintah Belanda dan Korea Selatan dalam pembangunan National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) di Jakarta. Selain itu, bekerja sama pula dengan Jepang dalam pembangunan shelter tsunami.
Poin keempat yang dielaborasi adalah masalah perubahan iklim yang telah dan akan berpengaruh pada peningkatan bencana terkait air. Pemerintah Indonesia menyadari betul pentingnya hal tersebut sehingga perlu untuk berkolaborasi serta saling berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan organisasi-organisasi para ahli seperti World Meteorological Organization (WMO) dan ICHARM (The International Centre for Water Hazard).
Kelima adalah memasukkan peran masyarakat untuk menanggulangi bencana terkait air. Di Indonesia, masyarakat berpartisipasi dengan dibentuknya sebuah gerakan yang disebut Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air (GN-KPA).
"Dua poin terakhir juga sangat penting, yakni kita perlu mengembangkan pengumpulan data dan informasi seperti data statistik dan spasial secara real time menggunakan teknologi dan peralatan mutakhir, †jelasnya. Beberapa contohnya yakni Flood Early Warning System (FEWS), Drought Early Warning System (DEWS) di Jawa dan Sumatera serta System Information of Water Availability on Main Irrigation (SI-WAMI).
Sebagai informasi, HELP dibentuk untuk membantu komunitas internasional, pemerintah dan pemangku kepentingan dalam memobilisasi dukungan politik dan sumber daya. HELP mempromosikan tindakan nyata dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat, memastikan koordinasi dan kolaborasi menetapkan tujuan dan sasaran umum, memantau kemajuan dan mengambil langkah-langkah efektif yang ditujukan dalam mengatasi berbagai masalah air dan bencana.
Pertemuan tingkat tinggi yang melibatkan para ahli di sektor air ini dihadiri pula oleh delegasi dari Belanda, Jepang, ADB, UNESCO, Korea Selatan, Myanmar serta organisasi mengenai air seperti Global Water Partnership, ICHARM dan para akademisi.
Turut mendampingi Menteri Basuki antara lain Kepala Balitbang Kementerian PUPR Danis H. Sumadilaga, Direktur Sungai dan Pantai Ditjen Sumber Daya Air Hari Suprayogi, Sekretaris Utama BNPB Dody Ruswandi, Rektor UGM Dwikorita Karnawati dan Duta Besar RI untuk RRT Sugeng Rahardjo.
Selain menghadiri pertemuan tingkat tinggi HELP Ke-9, Menteri Basuki juga dijadwalkan mengunjungi pengelolaan air limbah di Kota Dujiangyan, Bendungan Zi Pingpu, dan daerah terdampak gempa bumi di Kota Ying Xiu.
Pertemuan kali ini membahas bencana terkait air seperti banjir, kekeringan dan tsunami yang frekuensinya semakin sering dan menimbulkan dampak yang semakin serius bagi pembangunan berkelanjutan.
Dalam paparannya, Menteri Basuki menyampaikan tujuh kesimpulan hasil pertemuan HELP ke-8 untuk dapat digunakan dalam rencana aksi pengurangan bencana terkait air yang dibahas dalam pertemuan HELP ke-9.
"Tujuh poin kesimpulan tersebut dapat digunakan dalam rencana aksi HELP terkait bencana yang berhubungan dengan air,†kata Menteri Basuki.
Secara rinci, Menteri Basuki menjelaskan tujuh poin tersebut yakni pertama, menumbuhkan kesadaran masyarakat terhadap bencana. Apalagi Indonesia adalah negara yang rawan bencana, terutama berkaitan dengan air. Penanggunalangan bencana di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No.24/2007, di mana manajemen resiko bencana melibatkan masyarakat sipil, pemerintah, swasta, kalangan akademisi dan komunitas ilmuwan. Dalam pelaksanaannya di bawah tanggung jawab Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), di mana di dalamnya Kementerian PUPR juga memiliki peran penting dan bertanggung jawab mulai dari fase tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi.
“Hal ini menjadi yang pertama dan krusial dalam keberhasilan pengelolaan resiko bencana,†jelasnya.
Kedua, perlunya program dan kebijakan penanggulangan bencana. Indonesia sendiri telah memiliki program dan kebijakan yang secara jelas dan rinci tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Sebagai contoh, untuk melindungi masyarakat dari banjir dan kekeringan, berdasarkan RPJMN, Pemerintah melalui Kementerian PUPR menargetkan pembangunan 65 bendungan dalam lima tahun (2015-2019).
Ketiga, pentingnya kerja sama baik secara bilateral, multilateral dan antar institusi dalam penanggulangan bencana yang berkaitan dengan air. Indonesia bekerja sama dengan Tiongkok dan masih terus berlanjut untuk ke depan, salah satunya dalam pembangunan Bendungan Jati Gede yang telah selesai pada 2015. Indonesia juga bekerja sama dengan Pemerintah Belanda dan Korea Selatan dalam pembangunan National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) di Jakarta. Selain itu, bekerja sama pula dengan Jepang dalam pembangunan shelter tsunami.
Poin keempat yang dielaborasi adalah masalah perubahan iklim yang telah dan akan berpengaruh pada peningkatan bencana terkait air. Pemerintah Indonesia menyadari betul pentingnya hal tersebut sehingga perlu untuk berkolaborasi serta saling berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan organisasi-organisasi para ahli seperti World Meteorological Organization (WMO) dan ICHARM (The International Centre for Water Hazard).
Kelima adalah memasukkan peran masyarakat untuk menanggulangi bencana terkait air. Di Indonesia, masyarakat berpartisipasi dengan dibentuknya sebuah gerakan yang disebut Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air (GN-KPA).
"Dua poin terakhir juga sangat penting, yakni kita perlu mengembangkan pengumpulan data dan informasi seperti data statistik dan spasial secara real time menggunakan teknologi dan peralatan mutakhir, †jelasnya. Beberapa contohnya yakni Flood Early Warning System (FEWS), Drought Early Warning System (DEWS) di Jawa dan Sumatera serta System Information of Water Availability on Main Irrigation (SI-WAMI).
Sebagai informasi, HELP dibentuk untuk membantu komunitas internasional, pemerintah dan pemangku kepentingan dalam memobilisasi dukungan politik dan sumber daya. HELP mempromosikan tindakan nyata dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat, memastikan koordinasi dan kolaborasi menetapkan tujuan dan sasaran umum, memantau kemajuan dan mengambil langkah-langkah efektif yang ditujukan dalam mengatasi berbagai masalah air dan bencana.
Pertemuan tingkat tinggi yang melibatkan para ahli di sektor air ini dihadiri pula oleh delegasi dari Belanda, Jepang, ADB, UNESCO, Korea Selatan, Myanmar serta organisasi mengenai air seperti Global Water Partnership, ICHARM dan para akademisi.
Turut mendampingi Menteri Basuki antara lain Kepala Balitbang Kementerian PUPR Danis H. Sumadilaga, Direktur Sungai dan Pantai Ditjen Sumber Daya Air Hari Suprayogi, Sekretaris Utama BNPB Dody Ruswandi, Rektor UGM Dwikorita Karnawati dan Duta Besar RI untuk RRT Sugeng Rahardjo.
Selain menghadiri pertemuan tingkat tinggi HELP Ke-9, Menteri Basuki juga dijadwalkan mengunjungi pengelolaan air limbah di Kota Dujiangyan, Bendungan Zi Pingpu, dan daerah terdampak gempa bumi di Kota Ying Xiu.
Pewarta: prwire
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2017
Tags: