Ambon (ANTARA News) - Balai Arkeologi Maluku membahas sejarah Pattimura dari berbagai aspek, dalam "Diskusi Perang Pattimura: Sejarah, Warisan dan Intepretasi", di Ambon, Rabu.

Diskusi ringan dalam rangka memperingati Hari Pattimura yang ke-200 yang jatuh pada 15 Mei 2017 itu, menghadirkan pakar dan sejarawan Wim Manuhuttu dari Vrij Universiteit Amsterdam, Belanda, dan ahli antropologi Prof. Patricia Spyer dari Graduate Institute Jenewa, Swiss.

Hadir dalam diskusi itu, instasi terkait, seperti Museum Siwalima Ambon, peneliti sejarah dan budaya, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), sejumlah tokoh masyarakat dan agama, dan kalangan akademisi.

Wim Manuhutu dalam kesempatan itu memaparkan kajian sejarah Thomas Matulessy yang lebih dikenal dengan Kapitan Pattimura, berdasarkan dokumen-dokumen laporan Pemerintah Hindia-Belanda dan Vereenidge Oostindische Compagnie (VOC) dua abad lalu, dan catatan sejarah yang telah ditulis oleh sejumlah sejarawan lainnya.

Beberapa kajian yang dipaparkan terlihat sedikit berbeda dengan yang selama ini tercatat dalam buku-buku maupun catatan sejarah di Maluku, misalnya sejarah Thomas Matulessy di kesatuan tentara Inggris, bukan Korps Limaratus tapi Korps Empatratus.

Begitu pula dengan Proklamasi Haria yang berisi 17 pasal keberatan, dalam kajian Wim dari beberapa referensi hanya terdiri dari 16 pasal.

Wim juga menunjukan salah satu surat laporan mengenai perang Saparua pada 1817 dari VOC kepada Pemerintah Hindia-Belanda yang ditulis dalam bahasa Belanda.

Dalam dokumen itu, nama Kapitan Pattimura yang ditulis "Thomas Matulessij", ia juga dikatakan sebagai seorang yang durhaka dan biadab.

"Dalam berbagai dokumen dan surat-surat laporan VOC kepada Pemerintah Hindia-Belanda pada masa itu, Pattimura lebih banyak disebutkan dengan Thomas Matulessij, bukan dengan gelarnya itu," kata Wim.

Ia mengatakan sebelum masuknya penjajah dan agama, pengenalan sejarah Maluku dari generasi ke generasi pada masa lampau, lebih banyak menggunakan tradisi lisan dalam yang sebagian besar tertuang dalam "kapata" atau syair-syair tadisional, tak terkecuali sejarah Pattimura.

Karena itu, Wim menyarankan agenda penelitian Perang Pattimura di masa mendatang harus lebih menyasar pada pendekatan antropologi, yakni tradisi lisan, dan arkeologi dari segi lokasi otentik tinggalan sejarah.

Selain itu, analisa terhadap sumber-sumber sejarah, berupa dokumen-dokumen dalam bahasa asing, baik itu Belanda dan Inggris dengan memperhatikan perspektif berbeda harus lebih diperdalam.

"Dokumen-dokumen laporan yang ditulis oleh VOC dan Pemerintah Hindia-Belanda belum tentu benar adanya, tapi ini bisa menjadi titik acuan untuk kajian terhadap tradisi lisan," katanya.

Sementara itu, Prof. Patricia Spyer yang juga seorang peneliti mengatakan sumber-sumber lisan sama pentingnya dengan sumber tertulis, hanya saja sumber lisan lebih sering tidak dijadikan referensi baku dalam penelitian.

Kendati demikian, sumber-sumber lisan di masyarakat tidak bisa dipandang remeh, karena dapat menjadi referensi penting dalam pencarian dan penelitian sejarah maupun budaya.

"Sejarah lisan adalah sejarah yang hidup. Banyaknya klaim tentang asal-usul Pattimura menunjukan betapa pentingnya dia bagi masyarakat di Maluku," ujar Patricia.