Jakarta (ANTARA News) - Mantan anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani mengaku protes soal penetapan Daftar Pencarian Orang (DPO) kepada dirinya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Saya sebenarnya protes saja terhadap DPO saya, kan saya kooperatif kenapa saya dibuat DPO," kata Miryam sesuai menjalani pemeriksaan sebagai tersangka di gedung KPK, Jakarta, Jumat.

Sementara soal dirinya yang berkali-kali tidak memenuhi panggilan KPK untuk diperiksa, Miryam menyatakan bahwa sudah ada keterangan dari tim kuasa hukumnya.

"Saya mangkir kan ada surat tertulisnya melalui 'lawyer' saya," ucap Miryam.

Ia pun menyatakan bahwa tidak ada yang menekan dirinya untuk mencabut Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dalam persidangan perkara KTP-elektronik (KTP-e) pada Kamis (23/3) lalu.

"Tidak ada," kata Miryam.

Sementara soal materi pemeriksaan yang dilakukan KPK pada Jumat, Miryam enggan berkomentar lebih lanjut.

"Tanya di atas saja," ucap Miryam yang diperiksa sekitar enam jam itu.

Sebelumnya, KPK menahan mantan anggota Komisi II DPR RI Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani, tersangka memberikan keterangan tidak benar pada persidangan perkara tindak pidana korupsi proyek KTP-e atas nama terdakwa Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

"Tersangka Miryam S Haryani (MSH) dilakukan penahanan untuk 20 hari ke depan di Rutan Klas I Jakarta Timur Cabang Komisi Pemberantasan Korupsi," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Senin (1/5).

Sebelumnya, Miryam ditangkap oleh tim Satgas Bareskrim Polri di salah satu hotel kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Senin (1/5) dini hari setelah dimasukkan dalam DPO pada Kamis (27/4).

KPK sendiri sudah memberikan kesempatan kepada Miryam S Haryani untuk dipanggil secara patut.

"Dijadwalkan ulang ketika pihak pengacara datang mengatakan yang bersangkutan sakit kemudian kami jadwalkan ulang setelah ada surat keterangan dokter bahkan sampai hari ini kami belum menerima kedatangan dari tersangka," kata Febri di gedung KPK, Jakarta, Kamis (27/4).

Oleh karena itu, kata Febri, dalam proses penyidikan ini kami pandang perlu untuk menerbitkan surat DPO untuk tersangka Miryam S Haryani dan kemudian mengirimkannya kepada pihak Polri.

Pemanggilan pertama dilakukan pada Kamis (13/4), Miryam berhalangan hadir karena bertepatan dengan perayaan Paskah.

Selanjutnya, pemanggilan kedua dilakukan pada Selasa (18/4), Miryam berhalangan hadir dikarenakan sakit dan meminta penjadwalan ulang pada Rabu (26/4).

"Kami dapat surat dari kuasa hukum mengatakan bahwa Miryam S Haryani sakit dan kemudian meminta penjadwalan ulang tanggal 26 April. Setelah kami cek surat keterangan istirahat dari dokter adalah tanggal 18 dan 19 April," kata Febri.

Miryam disangkakan melanggar Pasal 22 juncto Pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Pasal tersebut mengatur mengenai orang yang sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar dengan ancaman pidana paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp600 juta.

Dalam persidangan pada Kamis (23/3) di Pengadilan Tipikor Jakarta diketahui Miryam S Haryani mengaku diancam saat diperiksa penyidik terkait proyek kasus KTP Elektronik (KTP-E).

"BAP isinya tidak benar semua karena saya diancam sama penyidik tiga orang, diancam pakai kata-kata. Jadi waktu itu dipanggil tiga orang penyidik," jawab Miryam sambil menangis.

Terkait hal itu, Miryam dalam persidangan juga menyatakan akan mencabut BAP atas pemeriksaan dirinya.

Dalam dakwaan disebut bahwa Miryam S Haryani menerima uang 23 ribu dolar AS terkait proyek sebesar Rp5,95 triliun tersebut.