Jakarta (ANTARA News) - Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mengatakan penetapan seorang tersangka dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, bukan merupakan hal yang bisa mengganggu stabilitas sistem keuangan.

"Tentu ini menunjukkan komitmen para penegak hukum. Jadi saya tidak melihat ini sebagai sesuatu yang negatif pada stabilitas sistem keuangan ini," kata Agus di Jakarta, Kamis.

Agus belum mau berkomentar banyak mengenai kasus yang merugikan negara tersebut. Namun, ia memastikan segala hal yang terjadi dalam bidang politik dan hukum, saat ini tidak terlalu memengaruhi persepsi pelaku pasar keuangan terhadap prospek ekonomi Indonesia.

"Bahkan kemarin pilkada bisa selesai dan tidak ada gejolak. Itu menunjukkan kematangan Indonesia dalam berdemokrasi," kata mantan Menteri Keuangan ini.

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung sebagai tersangka dalam kasus BLBI.

KPK menetapkan Syafruddin sebagai tersangka karena saat menjabat sebagai Kepala BPPN pada 2004 diduga mengusulkan pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham atau Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham atau pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI).

Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses ligitasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp4,8 triliun.

Hasil restrukturisasi itu adalah sebanyak Rp1,1 triliun dapat dikembalikan dan ditagihkan ke petani tambak. Sedangkan, sisanya Rp3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi tersebut.

Dengan demikian, terdapat kewajiban BDNI sebesar Rp3,7 triliun yang belum ditagihkan dan menjadi kerugian negara.

Syafruddin juga menjadi tersangka di Kejaksaan Agung dalam kasus dugaan korupsi "cessie" oleh BPPN kepada Victoria Securities International Corporation.

Kasus tersebut terkait dengan pembelian hak tagih (cessie) PT Adyaesta Ciptatama (AC) oleh PT Victoria Securities International Corporation dari BPPN pada 2003 yang diduga merugikan keuangan negara hingga Rp420 miliar.

Syafruddin disangkakan melanggar pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

BLBI merupakan skema bantuan (pinjaman) yang diberikan BI kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas saat krisis moneter 1998 di Indonesia. Skema untuk mengatasi masalah krisis ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF.

BI sudah mengucurkan dana hingga lebih dari Rp144,5 triliun untuk 48 bank yang bermasalah agar dapat mengatasi krisis tersebut. Namun penggunaan pinjaman ternyata tidak sesuai dengan ketentuan sehingga negara dinyatakan merugi hingga sebesar Rp138,4 triliun karena dana yang dipinjamkan tidak dikembalikan.

Terkait dugaan penyimpangan dana itu, sejumlah debitur kemudian diproses secara hukum oleh Kejaksaan Agung tapi Kejaksaan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kepada para debitur dengan dasar SKL.

SKL diterbitkan oleh BPPN berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).

Berdasar Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang, meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.