Jakarta (ANTARA News) - Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Febri Diansyah menyatakan KPK akan menghadapi proses praperadilan yang diajukan Miryam S Haryani, tersangka pemberi keterangan tidak benar pada persidangan korupsi proyek KTP elektronik dengan terdakwa Irman dan Sugiharto.

"Jadi, kami akan hadapi praperadilan tersebut. Namun proses praperadilan tidak akan menghentikan proses penyidikan yang sedang kami lakukan saat ini," kata Febri, di gedung KPK, Jakarta, Rabu.

Mantan anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani mengajukan praperadilan terhadap KPK yang menetapkan dirinya sebagai tersangka dalam kasus dugaan memberi keterangan yang tidak benar di persidangan.

"Hari ini saya datang untuk memberitahukan KPK melalui surat bahwa kami mendaftarkan gugatan praperadilan terhadap kasus klien saya, Miryam S Haryani atas penetapannya selaku tersangka. Sudah didaftarkan sejak Jumat (21/4) lalu, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan," kata pengacara Miryam, Aga Khan, di gedung KPK Jakarta, Selasa (25/4).

Dalam penyidikan kasus Miryam itu, KPK juga baru saja melakukan penggeledahan di empat lokasi.

"Penyidik kemarin melakukan penggeledahan di empat lokasi, yaitu pertama di rumah tersangka di Tanjung Barat Indah, kemudian di kantor advokat di H Tower lantai 15 Rasuna Said Kavling 20, di rumah salah satu saksi di Jalan Lontar, Lenteng Agung Residence, dan rumah saksi di Jalan Semen Perum Pondok Jaya, Pondak Aren, Tangerang Selatan," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah pula.

Febri menjelaskan, empat tim melakukan penggeledahan tersebut dengan dilakukan secara paralel pada empat lokasi itu mulai dari siang sampai malam hari, dan dalam proses penggeledahan itu disita sejumlah dokumen.

"Setelah proses penggeledahan dan penyitaan tentu penyidik mempelajari terlebih dahulu dokumen-dokumen yang sudah disita tersebut terkait dengan penanganan perkara pada tahap penyidikan indikasi memberikan keterangan tidak benar di pengadilan," ujar Febri pula.


Baca juga: (KPK belum sampaikan terdapat imbalan kasus SKL)


Mantan anggota Komisi II DPR RI Miryam S Haryani disangkakan melanggar pasal 22 juncto pasal 35 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal tersebut mengatur mengenai orang yang sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, dengan ancaman pidana paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp600 juta.

Dalam persidangan pada Kamis (23/3), di Pengadilan Tipikor Jakarta diketahui Miryam S Haryani mengaku diancam saat diperiksa penyidik terkait proyek kasus KTP elektronik (KTP-el).

"BAP isinya tidak benar semua karena saya diancam sama penyidik tiga orang, diancam pakai kata-kata. Jadi waktu itu dipanggil tiga orang penyidik," ujar Miryam sambil menangis.

Terkait hal itu, Miryam dalam persidangan juga menyatakan akan mencabut BAP atas pemeriksaan dirinya.

Dalam dakwaan disebut bahwa Miryam S Haryani menerima uang 23 ribu dolar AS terkait proyek sebesar Rp5,95 triliun tersebut.

KPK juga telah menetapkan pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan pekerjaan KTP elektronik.

Andi disangkakan melanggar pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

Terdakwa dalam kasus ini adalah Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan Pejabat Pembuat Komitmen pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto.

Atas perbuatannya, Irman dan Sugiharto didakwa berdasarkan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan T8ndak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan, sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.