Oleh Desy Saputra Jakarta (ANTARA News) - "Bapak saya pergi dengan senyuman," ucap putri Almarhum H Matori Abdul Djalil, Yafisa, secara terbata-bata, beberapa saat setelah sang ayah menghembuskan nafas terakhir. Matori, salah seorang politisi muslim kawakan di negeri ini, meninggal dunia di kediamannya Jalan Elang Emas Prima, Blok C-7 Nomor 12 Tanjung Mas, Tanjung Barat, Jakarta Selatan, Sabtu, sekitar pukul 21.03 WIB. Di sela isak tangisnya, Yafisa mengungkapkan, beberapa saat sebelum meninggal ayahnya tak mengalami keadaan kritis. "Memang Bapak sudah cukup lama sakit, tapi tidak ada masalah kritis. Seperti biasa, Bapak makan malam bersama kami, dan sempat mengeluh agak demam," katanya. Tak berapa lama setelah mengeluh demam, lanjutnya, sang ayah, yang Ketua Umum pertama di Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (DPP PKB) itu masuk ke kamar. "Tiba-tiba pingsan, sudah coba diberikan napas buatan tapi tidak tertolong lagi. Belum sempat dibawa ke rumah sakit," ungkapnya. Semasa hidupnya, karir suami dari Sri Indarini ini berawal dari Wakil Ketua DPRD II Salatiga pada periode 1968-1971. Berikutnya, Matori menjabat di DPRD II Semarang pada 1971-1977 dan tercatat menjadi anggota DPRD I Jawa Tengah pada 1987-1997. Karirnya terus meningkat dengan menjadi anggota DPR dan Wakil Ketua MPR pada periode 1999-2001. Puncaknya, mantan sekjen Partai Kebangkitan Bangsa ini dipercaya sebagai Menteri Pertahanan (Menhan) pada Kabinet Gotong Royong dalam pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Pria kelahiran Salatiga, Jawa Tengah, 11 Juli 1942, itu menamatkan studi Strata Satu (S-1) di Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Tawa Tengah. Pendidikan Sekolah Rakyat (SR), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA) juga ditamatkan di Salatiga. Matori yang awalnya bercita-cita menjadi tentara itu memutuskan terlibat dalam berbagai kegiatan organisasi mahasiswa dan partai politik. Ia terpaksa mengubur keinginannya menjadi tentara lantaran ia buta warna. Karir organisasi dan politiknya dibangun dari organisasi massa Islam berbintang sembilan, yakni Nahdlatul Ulama (NU). Ia awalnya tercatat sebagai anggota Pandu Anshor pada tahun 1955-1957. Ketika di SMA, ia menjadi Ketua Ikatan Pelajar Nadhlatul Ulama (IPNU) Cabang Salatiga, dan saat di bangku kuliah, Matori ditunjuk menjadi Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Salatiga, 1964-1968. Selanjutnya, ia menjabat Ketua Presidium Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Komisariat Salatiga, 1966-1968. Tahun 1966-1973, menjadi Wakil Ketua DPC Partai NU Kabupaten Semarang/Kotamadya Salatiga. Titian karir Matori di kancah politik semakin cemerlang ketika pada 1976-1981 menjabat Ketua II Anshor Wilayah Jawa Tengah tahun 1976-1981. Di saat yang hampir bersamaan, ia juga menjadi Wakil Sekretaris Pengurus Wilayah (PW) NU Jawa Tengah dan kemudian naik menjadi Sekretaris PWNU Jawa Tengah, 1979-1982. Tahun 1973 sampai 1981, ia menjabat Ketua DPC Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Kabupaten Semarang. Lalu, 1982-1987, menjadi Wakil Ketua DPW PPP Jawa Tengah. Di mata Yafisa, sang ayah tidak banyak mengeluh meski serangan stroke yang dialaminya membawa dapak kesehatan selama 3,5 tahun terakhir membuatnya harus banyak istirahat di rumah dan menjalani pengobatan terus-menerus. "Bapak di rumah terus, kami sekeluarga memantau dan menemani dia. Setelah stroke Bapak ikut terapi, seminggu sekali memeriksakan diri ke dokter," ujarnya. Diungkapkannya, selama menjalani terapi dan pengobatan dokter, kondisi Matori tetap stabil hingga detik-detik terakhir sebelum tutup usia. "Sebelum pergi, dia minta syukuran dan pengajian. Bapak bersyukur, karena semua anak-anaknya semua sudah bekerja," katanya. Matori meninggalkan delapan anak, dua menantu, dan tiga cucu. "Bapak pergi dengan tenang, mohon semua kesalahan beliau semasa hidup dimaafkan," demikian Yafisa. (*)