MTI: UU LLAJ cenderung salahkan pengemudi
23 April 2017 20:25 WIB
Kecelakaan Bus Rukun Sayur. Polisi memeriksa kerusakan bus Rukun Sayur yang mengalami kecelakaan di KM 202 Tol Palikanci, Cirebon, Jawa Barat, Selasa (14/7/15). Bus yang membawa pemudik dari Jakarta menuju Jawa Tengah tersebut menabrak pembatas jalan, menyebabkan 11 orang tewas dan 27 orang lainnya luka-luka. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)
Jakarta (ANTARA News) - Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menilai Undang Undang Nomor 22/2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (LLAJ) secara umum memang cenderung menyalahkan pengemudi pada peristiwa kecelakaan.
"Betul, selama ini UU LLAJ condong salahkan pengemudi. Ini harus direvisi," kata Wakil Ketua MTI Djoko Setijowarno saat dihubungi di Jakarta, Minggu.
Sebelumnya, Ketua Komisi V DPR, Fary Djemi Francis menilai, pada peristiwa kecelakaan beruntun bus maut HS Transport di Jalan Raya Puncak, Bogor, Jawa Barat dengan korban empat tewas dan enam lainnya luka, pemerintah seharusnya melihat lebih dalam.
"Pemerintah semestinya bijak dan adil karena kecelakaan bus tidak selalu karena kesalahan sopir tapi adanya faktor teknis kendaraan juga sangat memengaruhi suatu kecelakaan," kata Fary.
Pengemudi bus maut sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi.
Fary juga mendorong agar perusahaan bus maut itu juga disorot.
"Maka dari itu pemilik perusahaan yang busnya mengalami kecelakaan dan menimbulkan korban jiwa harus dimintakan pertanggung jawabannya bila terbukti bahwa faktor teknis mendominasi terjadinya kecelakaan bus tersebut," kata Fary.
Menurut Djoko, pihak lain yang layak diperhatikan dalam konteks itu adalah peran operator dan kir yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
Selain itu, katanya, pengawasan pemerintah terhadap bus wisata perlu diperketat lagi. "Tata kelola bus wisata perlu ditinjau ulang, " kata Djoko.
Dikatakan Djoko, pengemudi angkutan umum punya masa kerja maksimal delapan jam per hari dan hal ini kadang tidak berlaku di bus wisata.
"Hal itu karena dianggap sopir bisa istirahat saat pelancong kunjungi obyek wisata, " katanya.
Pada sisi lain, kata Djoko, masyarakat cenderung pilih bus wisata yang murah sewanya, tetapi kurang memenuhi unsur keselamatan.
"Karena itu juga, bus reguler yang dialihkan menjadi bus wisata bertarif murah harus juga diawasi ketat oleh regulator, " kata Djoko.
Terus Berulang
Fary bahkan menyebut, kecelakaan pada Sabtu (22/4) sore itu menuntut ketegasan terhadap pengawasan Perusahaan Otobus (PO).
"Kecelakaan-kecelakaan seperti ini bukan hal yang baru dan terus berulang," kata Fary.
Oleh karena itu, dia mendesak agar Kementerian Perhubungan bisa menertibkan PO-PO bus di negara ini agar masyarakat bisa lebih aman menempuh perjalanan.
"Ada sistem pengaturan dan pengawasan yang gagal dilakukan oleh Kementerian Perhubungan sehingga untuk kesekian kalinya terjadi kecelakaan bus yang menimbulkan korban jiwa dan materi yang dialami oleh masyarakat," kata Fary.
"Betul, selama ini UU LLAJ condong salahkan pengemudi. Ini harus direvisi," kata Wakil Ketua MTI Djoko Setijowarno saat dihubungi di Jakarta, Minggu.
Sebelumnya, Ketua Komisi V DPR, Fary Djemi Francis menilai, pada peristiwa kecelakaan beruntun bus maut HS Transport di Jalan Raya Puncak, Bogor, Jawa Barat dengan korban empat tewas dan enam lainnya luka, pemerintah seharusnya melihat lebih dalam.
"Pemerintah semestinya bijak dan adil karena kecelakaan bus tidak selalu karena kesalahan sopir tapi adanya faktor teknis kendaraan juga sangat memengaruhi suatu kecelakaan," kata Fary.
Pengemudi bus maut sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi.
Fary juga mendorong agar perusahaan bus maut itu juga disorot.
"Maka dari itu pemilik perusahaan yang busnya mengalami kecelakaan dan menimbulkan korban jiwa harus dimintakan pertanggung jawabannya bila terbukti bahwa faktor teknis mendominasi terjadinya kecelakaan bus tersebut," kata Fary.
Menurut Djoko, pihak lain yang layak diperhatikan dalam konteks itu adalah peran operator dan kir yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
Selain itu, katanya, pengawasan pemerintah terhadap bus wisata perlu diperketat lagi. "Tata kelola bus wisata perlu ditinjau ulang, " kata Djoko.
Dikatakan Djoko, pengemudi angkutan umum punya masa kerja maksimal delapan jam per hari dan hal ini kadang tidak berlaku di bus wisata.
"Hal itu karena dianggap sopir bisa istirahat saat pelancong kunjungi obyek wisata, " katanya.
Pada sisi lain, kata Djoko, masyarakat cenderung pilih bus wisata yang murah sewanya, tetapi kurang memenuhi unsur keselamatan.
"Karena itu juga, bus reguler yang dialihkan menjadi bus wisata bertarif murah harus juga diawasi ketat oleh regulator, " kata Djoko.
Terus Berulang
Fary bahkan menyebut, kecelakaan pada Sabtu (22/4) sore itu menuntut ketegasan terhadap pengawasan Perusahaan Otobus (PO).
"Kecelakaan-kecelakaan seperti ini bukan hal yang baru dan terus berulang," kata Fary.
Oleh karena itu, dia mendesak agar Kementerian Perhubungan bisa menertibkan PO-PO bus di negara ini agar masyarakat bisa lebih aman menempuh perjalanan.
"Ada sistem pengaturan dan pengawasan yang gagal dilakukan oleh Kementerian Perhubungan sehingga untuk kesekian kalinya terjadi kecelakaan bus yang menimbulkan korban jiwa dan materi yang dialami oleh masyarakat," kata Fary.
Pewarta: Edy Sujatmiko
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017
Tags: