Emha: cinta Tanah Air hukumnya wajib
17 April 2017 22:00 WIB
Cak Nun Dakwah Kebangsaan Di Tulungagung Budayawan Emha Ainun Najib atau Cak Nun (tengah) menyampaikan dakwah kebangsaan bertema "Sinau Bareng Nandur Kabecikan" di Lapangan terbuka GOR Lembu Peteng, Tulungagung, Jawa Timur, Senin (28/11/2016). (ANTARA FOTO/Destyan Sujarwoko) ()
Yogyakarta (ANTARA News) - Budayawan Emha Ainun Najib menilai cinta Tanah Air atau rasa nasionalisme hukumnya wajib bagi seluruh elemen bangsa sebagai warga negara Indonesia.
"Cinta tanah air, merawat Indonesia wajib hukumnya karena kalau tidak dilakukan Tuhan akan marah," kata Emha Ainun Najib dalam diskusi Kebangsaan dalam Kebudayaan di Yogyakarta, Senin.
Dalam acara yang diselenggarakan Paguyuban Wartawan Sepuh Yogyakarta itu, budayawan yang akrab disapa Cak Nun mengilustrasikan bahwa manusia telah ditentukan oleh Tuhan hidup di negara-negara tertentu.
Dengan demikian, sebagai rasa bakti dan syukur kepada Tuhan, maka wajib hukumnya setiap warga negara Indonesia mencintai negara yang telah ditakdirkan Tuhan sebagai tanah tumpah darah mereka tersebut.
"Saya menjadi nasionalis justru karena saya seorang Muslim. Bagi saya nasionalisme wajib karena asal usulnya oleh Tuhan saya ditentukan lahir dan menjadi anak orang Indonesia sehingga saya wajib merawat Indonesia," kata dia.
Menurut Cak Nun, munculnya oknum atau kelompok yang menolak nasionalisme dan ingin mendirikan negara dengan orientasi keagamaan tertentu justru karena mereka salah paham dalam mengkaji ajaran agama.
Sementara itu, Budayawan Yogyakarta, Ahmad Charis Zubair menilai di sisi lain masih banyak warga negara Indonesia yang tidak percaya diri mengakui keunggulan budayanya sendiri karena silau dengan yang dimiliki negara lain. Mereka merasa negaranya tertinggal dari standar yang diterapkan negara-negara maju.
Padahal, menurut Charis, penggolongan negara maju, berkembang, dan tertinggal adalah bagian dari hegemoni politik dan budaya oleh sekelompok negara-negara tertentu yang menjadi salah satu tantangan globalisasi.
"Dengan mengikuti stigma itu kita akan terjebak pada persoalan ekonomi dan budaya karena pada dasarnya setiap bangsa atau negara memiliki potensi masing-masing yang tidak bisa diukur dengan standar negara yang dianggap maju," kata dia.
(T.L007/I007)
"Cinta tanah air, merawat Indonesia wajib hukumnya karena kalau tidak dilakukan Tuhan akan marah," kata Emha Ainun Najib dalam diskusi Kebangsaan dalam Kebudayaan di Yogyakarta, Senin.
Dalam acara yang diselenggarakan Paguyuban Wartawan Sepuh Yogyakarta itu, budayawan yang akrab disapa Cak Nun mengilustrasikan bahwa manusia telah ditentukan oleh Tuhan hidup di negara-negara tertentu.
Dengan demikian, sebagai rasa bakti dan syukur kepada Tuhan, maka wajib hukumnya setiap warga negara Indonesia mencintai negara yang telah ditakdirkan Tuhan sebagai tanah tumpah darah mereka tersebut.
"Saya menjadi nasionalis justru karena saya seorang Muslim. Bagi saya nasionalisme wajib karena asal usulnya oleh Tuhan saya ditentukan lahir dan menjadi anak orang Indonesia sehingga saya wajib merawat Indonesia," kata dia.
Menurut Cak Nun, munculnya oknum atau kelompok yang menolak nasionalisme dan ingin mendirikan negara dengan orientasi keagamaan tertentu justru karena mereka salah paham dalam mengkaji ajaran agama.
Sementara itu, Budayawan Yogyakarta, Ahmad Charis Zubair menilai di sisi lain masih banyak warga negara Indonesia yang tidak percaya diri mengakui keunggulan budayanya sendiri karena silau dengan yang dimiliki negara lain. Mereka merasa negaranya tertinggal dari standar yang diterapkan negara-negara maju.
Padahal, menurut Charis, penggolongan negara maju, berkembang, dan tertinggal adalah bagian dari hegemoni politik dan budaya oleh sekelompok negara-negara tertentu yang menjadi salah satu tantangan globalisasi.
"Dengan mengikuti stigma itu kita akan terjebak pada persoalan ekonomi dan budaya karena pada dasarnya setiap bangsa atau negara memiliki potensi masing-masing yang tidak bisa diukur dengan standar negara yang dianggap maju," kata dia.
(T.L007/I007)
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017
Tags: