Serangan Amerika yang dilancarkan terhadap pusat militer Pemerintah Suriah merupakan serangan balasan terhadap serangan udara rezim berkuasa Bashar Assad di Idlib.
Serangan udara rezim Bashar Assad yang diduga mengandung racun berbahaya ini Menuhin kecaman dari berbagai negara.
Secara cepat Presiden Trump mengambil keputusan yang mengejutkan. Namun tidak sedikit negara yang mendukungnya, termasuk Jepang, Australia, dan negara-negara Arab.
Kecaman dunia terhadap Assad memang manusiawi. Penguasa macam apa yang tega membunuh rakyatnya sendiri dengan gas beracun?
Ada tiga hal penting mengapa serangan rudal AS terhadap fasilitas militer Suriah dilakukan secara cepat oleh AS padahal sebelumnya kebijakan AS di bawah Trump cenderung menarik diri dari Timur Tengah.
Pertama, serangan udara oleh rezim berkuasa terhadap Kota Idlib yang menewaskan ratusan korban masyarakat sipil yang di dalamnya ada ibu-ibu dan anak-anak adalah tindakan di luar kemanusiaan.
Ditambah lagi bom yang digunakan diduga merupakan senjata beracun yang berdampak pada pemunahan manusia secara massal. Kecaman masyarakat dunia dan kecaman rakyat AS sendiri mendorong Trump untuk melakukan suatu keputusan yang sangat cepat. Apalagi Trump berusaha tampil sebagai presiden yang populis. Ada tekanan kuat publik AS untuk merespons serangan udara rezim Assad.
Kedua, Idlib adalah wilayah yang dikuasai oleh pihak oposisi yang tidak berafiliasi dengan ISIS. Oposisi yang berkuasa di Idlib adalah Ahrar Syam yang merupakan salah satu oposisi moderat terbesar di Suriah.
AS dan Turki termasuk negara-negara yang mendukung Ahrar. Jadi, Idlib bukanlah target yang tepat apalagi menggunakan bom beracun.
Oleh karena itu, Trump yang sebelumnya percaya bahwa Assad bisa diajak bekerja sama akhirnya mendadak mengubah sikapnya terhadap Assad, tidak lama setelah serangan mematikan dilakukan oleh rezim terhadap rakyat Idlib.
Ketiga, AS menilai bahwa usaha-usaha menciptakan perdamaian di Suriah telah gagal. Ditandai dengan tidak semangatnya AS mengikuti inisiatif perdamaian di Suriah baik yang digagas oleh di Astana, Genewa maupun di Brussel.
Tanpa disadari bahwa absennya AS di Timur Tengah telah menguatkan posisi Rusia. Dukungan Rusia terhadap Rezim Assad dalam memerangi oposisi telah mengukuhkan tindakan pemerintah yang tidak dapat dikontrol lagi dan cenderung bersifat impunity (bebas dari aturan).
Beberapa inisiatif yang dilakukan oleh Dewan Keamanan PBB untuk melakukan investigasi terhadap penggunaan senjata pemusnah massal juga kandas di persidangan karena veto yang dilakukan oleh Rusia dan Cina.
Serangan AS dianggap sebagai peringatan kepada penguasa Suriah bahwa AS bisa melakukan tindakan lebih jauh lagi jika serangan tidak segera dihentikan. Dalam pandangan AS serangan yang tidak mempedulikan nilai-nilai kemanusiaan itu akan memicu ancaman-ancaman keamanan kepada AS maupun Eropa.
Di samping motif di balik serangan AS itu, tentu dampak ke depan terhadap perdamaian di Timur Tengah penting untuk diwaspadai.
Munculnya kebijakan military retaliation (pembalasan militer) yang melibatkan para pendukung regim maupun oposisi akan memperluas wilayah konflik dan perang. Diduga serangan penguasa di Idlib merupakan aksi balasan terhadap serangan aksi terorisme yang terjadi di St. Pittersburg, Rusia.
Walaupun Rusia sendiri mengaku tidak ikut dalam serangan di Idlib tetapi indikasi adanya balasan ini nampak karena Rusia selalu terlibat melakukan serangan-serangan terhadap oposisi baik yang berafiliasi dengan ISIS maupun tidak.
Tidak lama setelah serangan As, Rusia pun mulai menggerakkan kekuatan militer lautnya bergerak dari Laut Hitam menuju Laut Meditarinian tempat kapal-kapal AS meluncurkan rudalnya ke wilayah ke wilayah Suriah.
Apabila tidak ada usaha-usaha untuk menghentikan serangan-serangan balasan maka dikhawatirkan akan memicu perang yang lebih besar. Suriah akan mirip seperti Afghanistan di masa Perang Dingin di mana Uni Soviet menduduki Afghanistan sementara AS secara tidak langsung menggalang kekuatan untuk mengusir Uni Soviet.
Di Suriah akan lebih hebat lagi karena AS telah memulai serangan terhadap penguasa yang didukung oleh Rusia.
Tentu Rusia akan mempertahanan posisi Assad dengan berbagai cara karena Syiria akan dijadikan sebagai front yard (halaman depan) Rusia yang menghadap ke Eropa. Ditambah lagi Rusia ingin membalas kekalahannya dalam Perang Dingin yang mengakibatkan hancurnya Uni Soviet.
Di sini Suriah bisa menjadi lapangan perang bagi As dan Rusia secara langsung yang melibatkan negara-negara aliansi di Timur Tengah.
Karenanya harus ada langka yang serius bagi dunia internasional dalam menyelesaikan konflik di Suriah. Kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik negara-negara adidaya sangat mencolok.
Perlu adanya solusi yang tidak hanya mengedepankan pendekatan militer. Baik Rusia dan AS hendaknya dapat menghentikan intervensinya di negara-negara di Timur Tengah.
Era penguasaan dan hegemoni seharusnya sudah dihentikan. Ketidakadilan yang dirasakan oleh negara-negara di Timur Tengah terbukti telah melahirkan berbagai bentuk radikalisme dan terorisme.
Sebagian besar para pelaku utama terorisme adalah mereka yang berasal dari negara-negara di mana kekuatan asing hadir di dalamnya.
Tentu kekuatan asing awalnya adalah untuk melindungi rezim yang sedang berkuasa. Lambat laun berubah menjadi penguasaan dan hegemoni. Aksi saling balas terjadi.
Kehancuran dan kerusakan menjadi fenomena umum terjadi di negara-negara mengalami intervensi militer asing karena menggantungkan stabilitas negaranya kepada negara-negara AS maupun Rusia.
Kehancuran nampak jelas di Afghanistan, Irak, Libia dan sekarang Suriah. Padahal negara-negara itu sebelumnya dikenal sebagai negara yang damai dan makmur.
Ketidakseimbangan kekuatan di dunia paska Perang Dingin terbukti menciptakan ketidakadilan baru. AS menjadi satu-satunya penentu kebijakan di kawasan Timur Tengah.
Namun kebijakan Trump yang mulai menarik keterlibatannya di Timur Tengah justru dimanfaatkan oleh Rusia untuk memperkuat posisinya di Timur Tengah.
Semua itu dilatarbelakangi oleh penguasaan ekonomi dan sumber daya alam di Timur Tengah yang memang melimpah. Ditambah potensi konflik internal negara-negara Timur Tengah yang sangat besar menjadi alasan tersendiri bagi internvensi dan penguasaan negara-negara adikuasa itu di kawasan Timur Tengah ini.
Pertanyaannya adalah apakah kondisi yang timpang dengan potensi Rusia sebagai satu-satunya kekuataan besar di Timur Tengah akan menjadi stabil jika AS kembali memperkuat posisinya di Timur Tengah? Faktanya adalah berakhirnya perang dingin tidak berdampak pada proses perdamaian yang menyeluruh di Timur Tengah.
Saat Uni Soviet hancur maka AS menjadi kekuatan utama di Timur Tengah. Demikian juga ketika AS mulai menarik pengaruhnya di Timur Tengah justru momen ini dijadikan sebagai era kebangkitan Rusia di Timur Tengah. Rusia pun berusaha menjadi kekuatan tunggal menggantikan di kawasan.
Apakah hadirnya dua kekuatan besar di Timur Tengah masih dianggap sebagai kekuatan penyeimbang bagi proses perdamaian di kawasan ini? Sepertinya terwujudnya tatanan baru Timur Tengah yang damai dan makmur tanpa AS dan Rusia perlu dipertimbangkan.
Biarlah rakyat Timur-Tengah sendiri yang mengatur dan mengelolah dinamika politik dan ekonomi mereka secara independen.
Mengembangkan politik luar negeri mereka secara bebas berdasarkan sikap bertetangga dengan baik dan saling menghormati kedaulatan negara. Tentunya, masa depan Suriah akan menjadi uji coba yang tepat bagi pendekatan baru ini.
Dan apabila ini yang terjadi, Timur Tengah diyakini akan bergerak menjadi wilayah yang damai, makmur dan demokratis karena terbebas dari kepentingan-kepentingan asing.
*) Penulis adalah Dosen Tetap Program Studi Arab Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia dan Direktur Eksekutif Indonesia-Middle East Institute
Timur Tengah tanpa AS dan Rusia
8 April 2017 22:55 WIB
Dokumentasi - Foto petugas kesehatan menolong korban senjata kimia di Iblib, Suriah, Selasa (4/4/2017). (Reuters)
Oleh Yon Machmudi, PhD *)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017
Tags: