Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah masih menunggu hasil analisis perintah eksekutif yang dikeluarkan Presiden Donald Trump, yang meminta adanya investigasi terhadap negara-negara yang menyumbang terjadinya defisit neraca perdagangan Amerika Serikat (AS).

"Executive order itu butir pertama bunyinya menganalisis dan mempelajari sebab-sebab defisit. Kita belum tahu bagaimana analisis mereka," kata Menko Perekonomian Darmin Nasution seusai rapat koordinasi membahas kebijakan perdagangan luar negeri AS di Jakarta, Kamis.

Darmin mengatakan saat ini belum ada langkah yang diambil pemerintah, namun pendekatan melalui komunikasi secara intens dengan pihak AS akan terus diupayakan serta menyiapkan berbagai antisipasi apabila diperlukan.

"Kita tentu mempelajari apa saja yang bisa dipakai oleh mereka untuk, katakanlah, mempermasalahkan Indonesia. Tentu kita juga siapkan," katanya.

Darmin mengatakan Indonesia mengalami surplus neraca perdagangan dengan AS sebesar 8,8 miliar dolar AS pada 2016, tetapi belum tentu AS terkena kerugian, karena AS bisa saja memiliki surplus dengan Indonesia di neraca jasa dan lainnya.

"Hubungan kita dengan AS tidak hanya perdagangan barang, ada perdagangan jasa, investasi, pengiriman profit, dan sebagainya. Kalau digabung semuanya, ceritanya belum tentu seperti perdagangan barang," ungkapnya.

Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengatakan langkah antisipasi dalam bidang perdagangan yang disiapkan pemerintah masih menunggu hasil investigasi dari perintah eksekutif tersebut.

"Kita belum tahu investigasinya, belum tahu komoditasnya apa. Itulah, karena yang dilihat dari sisi barangnya saja. Padahal mungkin kalau jasa, kita defisit," kata Oke.

Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump menerbitkan perintah eksekutif untuk melakukan investigasi terhadap negara-negara yang menyumbang terjadinya defisit neraca perdagangan AS.

Perintah eksekutif ini bertujuan melindungi perekonomian AS dari politik dumping yang dilakukan negara mitra dagang dan manipulasi kurs yang membuat harga barang impor lebih murah.

Indonesia termasuk salah satu negara yang disebut-sebut merugikan kepentingan AS dalam perintah eksekutif tersebut karena menempati peringkat negara ke-15 yang memiliki defisit perdagangan dengan AS.

Posisi pertama ditempati oleh Tiongkok dengan 347 miliar dolar AS, disusul Jepang, Jerman, Meksiko, Irlandia, Vietnam, Italia, Korea Selatan, Malaysia, India, Thailand, Prancis, Switzerland, dan Taiwan.

Saat ini, surplus neraca perdagangan Indonesia dengan AS mencapai 8,8 miliar dolar AS pada 2016, meski AS mengklaim mengalami defisit neraca perdagangan dengan Indonesia hingga 13 miliar dolar AS.

(T.S034/S024)