Temanggung (ANTARA News) - Warga keturunan Tionghoa di Magelang dan Temanggung, Jawa Tengah bersama keluarga besar masing-masing melakukan tradisi Ceng Beng untuk menghormati leluhur mereka dengan ziarah ke pemakaman.

"Setahun sekali kami sekeluarga ke sini untuk berziarah, menghormati leluhur," kata seorang warga keturunan Tionghoa di Temanggung Henry Irianto atau Tjong Han Gie (55) saat bersama keluarganya ziarah ke pemakaman "Bukit Damai Soropadan" di Temanggung, Rabu.

Ia menyebut banyak anggota keluarganya yang telah wafat dimakamkan di pekuburan di bukit tepi Jalan Raya Yogyakarta-Semarang di Desa Soropadan, Kecmatan Pringsurat, Kabupaten Temanggung.

Tradisi Cheng Beng, katanya, penting dilakukan warga keturunan Tionghoa sebagaimana keluarganya untuk mengingat leluhur dan membersihkan pemakaman mereka.

Pada sekitar pukul 08.00 WIB, Henry bersama 10 anggota keluarganya yang tinggal di Magelang dan Temanggung melakukan tabur bunga di sejumlah pusara keluarganya di "Bukit Damai Soropadan".

Seorang petugas pengelola "Bukit Damai Soropadan", Marsono (58), mengatakan sejak sekitar seminggu terakhir cukup banyak warga keturunan Tionghoa melakukan ziarah untuk tradisi Cheng Beng ke pemakaman setempat yang luasnya sekitar 15 hektare itu.

"Kalau Minggu (2/4) kemarin sampai banyak sekali, mungkin seharian itu ada kalau 500 keluarga yang datang untuk ziarah. Kalau dalam tradisi Jawa namanya Nyadran," ujarnya didampingi seorang petugas lainnya, Budiman (60).

Pada hari biasa, terutama Minggu, warga yang berziarah ke tempat itu paling banyak hanya lima keluarga berasal dari daerah sekitar, sedangkan terkait dengan tradisi Cheng Beng mereka yang datang antara lain dari Magelang, Temanggung, Wonosobo, Semarang, Surabaya, dan Jakarta. Saat tahun baru Imlek, juga cukup banyak mereka yang berziarah ke pemakaman tersebut.

Ia mengatakan saat ziarah, mereka antara lain membawa bunga, lilin, hio atau dupa. Mereka juga meletakkan sesaji di dekat makam keluarga, yang antara lain berupa daging ayam dan babi, ikan laut, buah-buahan, aneka kue, jajanan, dan uang-uangan dari kertas.

Seorang tokoh masyarakat keturunan Tionghoa di Kota Magelang Paul Candra Wesi Aji mengatakan satu tahun sekali warga melakukan tradisi Cheng Beng dengan tabur bunga dan memasang sesaji di pemakaman leluhur atau di pantai tempat larungan abu jasad keluarga yang telah meninggal dunia.

"Umumnya kalau yang dari Magelang dilarung di Parangtritis, Yogyakarta, tapi ada juga yang dilarung di pantai di Semarang. Kalau pendahulu keluarga di kota ini ada yang dimakamkan di Soropadan, di Balong, Kecamatan Salaman, di Gremeng, Kecamatan Salam (Kabupaten Magelang), atau di Giriloyo Kota Magelang, ada juga yang di Ambarawa, Kabupaten Semarang," papar Paul Candra yang juga Ketua Yayasan Tri Bhakti yang mengelola Kelenteng Liong Hok Bio Kota Magelang.

Ia mengatakan sekitar 100 warga keturunan Tionghoa di Kota Magelang juga melakukan persembahyangan sebagai puncak Ceng Beng pada Selasa (4/4) malam, di Kelenteng Liong Hok Bio dengan dipimpin Bunsu (pendeta utama) Aji Candra (60) dari Kota Solo.

"Untuk mendoakan arwah dan menghormati leluhur. Ceng Beng menjadi tradisi warga Tionghoa yang sampai sekarang terus dilestarikan. Kalau dalam masyarakat Jawa ada tradisi Nyadran. Tradisi Ceng Beng, tiga bulan setelah Imlek, dilakukan warga sejak 10 hari sebelum puncak Ceng Beng kemarin (4/4) dan 10 hari setelah hari pucak itu," tuturnya.

Tradisi Ceng Beng, lanjutnya, juga menjadi kesempatan yang baik bagi warga keturunan Tionghoa, yang tinggal di berbagai kota, untuk berkumpul guna mengenal lebih baik leluhur mereka dan mempererat silaturahim di antara sanak keluarga atau keturunan.