Semarang (ANTARA News) - sejumlah nama penyelenggara negara yang disebut dalam kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP perlu dimintai penjelasan mengenai dugaan pembiaran dalam fungsi kontrolnya di megaproyek tersebut, kata seorang pakar hukum.

"Ada kewajiban mereka yang disebut itu untuk ikut menjaga agar jangan sampai terjadi penyimpangan," kata pakar hukum pidana Universitas Diponegoro Semarang Nyoman Serikat Putra Jaya dalam diskusi hukum "Tinjauan Yuridis Kriminaliasi Penyebutan Nama Pejabat Publik yang Diduga Menerima Aliran Dana Proyek e-KTP dalam Dakwaan KPK" di Semarang, Senin.

Meski demikian, lanjut dia, hal tersebut harus diperdalam mengenai kewajiban hukum untuk menghentikan dugaan tindak pidana tersebut.

"Ada kewajiban untuk ikut menjaga, apakah kewajiban yang diberikan undang-undang tersebut dilakukan atau tidak," tambahnya.

Ia menilai jika pihak-pihak yang disebut dalam sidang tersebut melakukan pembiaran sehingga terjadi tindak pidana tersebut, mereka bisa saja ikut dijerat.

Meski disinggung-singgung dalam surat dakwaan perkara korupsi e-KTP, kata dia, para penyelenggara negara itu tetap boleh membantah.

"Para pihak itu diberi hak untuk ingkar, tetapi hak untuk tidak mengakui itu juga harus beralasan," katanya.

Ia menambahkan penyebutan berbagai pihak yang diduga menerima aliran dana korupsi E-KTP tersebut tentunya tidak tiba-tiba.

"Penyebutan itu tentu ada dasarnya, tidak ujug-ujug ada," katanya dalam diskusi yang dipandu Ketua Peradi Semarang itu.

Sementara pakar hukum Universitas Nusa Cendana Kupang Bernard L.Tanya menyoroti lemahnya ketulusan masyarakat, khususnya penyelenggara negara untuk melaporkan jika terjadi kejahatan.

"Pejabat kita masih seperti itu, moralitasnya seperti anak-anak. Selalu ada hitung-hitungannya," katanya.

Akibatnya, lanjut dia, banyak yang tidak dengan sukarela menjadi "whistle blower" atas terjadinya suatu kejahatan.

"Yang banyak muncul justru justice collaborator, ditangkap dulu baru bersedia mengungkap kejahatan yang terjadi," katanya.