Nazaruddin jadi saksi kasus proyek e-KTP
3 April 2017 10:00 WIB
Sidang Lanjutan Nazaruddin Terdakwa perkara dugaan pencucian uang, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin bersiap menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (3/2). Jaksa Penuntut Umum menghadirkan enam orang saksi untuk dimintai keterangannya terkait kasus tersebut. (ANTARA FOTO/M Agung Rajasa) ()
Jakarta (ANTARA News) - Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin menjadi saksi dalam sidang lanjutan kasus proyek pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk berbasis Nomor Induk Kependudukan secara nasional (e-KTP)
Nazaruddin di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin mengatakan bahwa ia akan menjelaskan semua terkait beberapa anggota DPR yang menerima aliran dana dari proyek e-KTP.
"Ya ini sesuai yang didakwakan sama Jaksa Penuntut Umum, nanti akan saya jelaskan semua," kata Nazaruddin.
Soal banyak yang membantah menerima aliran dana itu, ia menyatakan bahwa lebih mengaku saja agar hukuman di dunia dan akherat tidak berat.
"Ya memang kalau masalah bantah dari mana mau ngaku. Tetapi kan kalau dia mau ngaku lebih baik, lebih baik ngaku supaya hukumannya di dunia dan akherat tidak berat," tuturnya.
Ia pun menyatakan siap untuk memberikan kesaksian dalam sidang keenam kasus proyek pengadaan e-KTP.
"Saya sih sudah niat dari awal untuk bantu KPK, khusus kasus Hambalang, KTP-E dan lain-lain," ucap Nazaruddin.
Selain Nazaruddin, Jaksa Penuntut Umum KPK dijadwalkan memanggil sembilan saksi lainnya, yakni Dian Hasanah, M Jafar Hafsah, Khatibul Umam, Yosep Sumartono, Vidi Gunawan, Munawar, Melchias Marcus Mekeng, Olly Dondokambey, dan Eva Omvita.
Terdakwa dalam kasus ini adalah mantan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto.
Atas perbuatannya, Irman dan Sugiharto didakwa berdasarkan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.
Selain keduanya, KPK juga baru menetapkan Andi Agustinus alias Andi Narogong sebagai tersangka kasus yang mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp2,314 triliun dari total anggaran Rp5,95 triliun.
Nazaruddin di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin mengatakan bahwa ia akan menjelaskan semua terkait beberapa anggota DPR yang menerima aliran dana dari proyek e-KTP.
"Ya ini sesuai yang didakwakan sama Jaksa Penuntut Umum, nanti akan saya jelaskan semua," kata Nazaruddin.
Soal banyak yang membantah menerima aliran dana itu, ia menyatakan bahwa lebih mengaku saja agar hukuman di dunia dan akherat tidak berat.
"Ya memang kalau masalah bantah dari mana mau ngaku. Tetapi kan kalau dia mau ngaku lebih baik, lebih baik ngaku supaya hukumannya di dunia dan akherat tidak berat," tuturnya.
Ia pun menyatakan siap untuk memberikan kesaksian dalam sidang keenam kasus proyek pengadaan e-KTP.
"Saya sih sudah niat dari awal untuk bantu KPK, khusus kasus Hambalang, KTP-E dan lain-lain," ucap Nazaruddin.
Selain Nazaruddin, Jaksa Penuntut Umum KPK dijadwalkan memanggil sembilan saksi lainnya, yakni Dian Hasanah, M Jafar Hafsah, Khatibul Umam, Yosep Sumartono, Vidi Gunawan, Munawar, Melchias Marcus Mekeng, Olly Dondokambey, dan Eva Omvita.
Terdakwa dalam kasus ini adalah mantan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto.
Atas perbuatannya, Irman dan Sugiharto didakwa berdasarkan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.
Selain keduanya, KPK juga baru menetapkan Andi Agustinus alias Andi Narogong sebagai tersangka kasus yang mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp2,314 triliun dari total anggaran Rp5,95 triliun.
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2017
Tags: