Jakarta (ANTARA News) - Peneliti dan pengamat energi Pri Agung Rakhmanto menilai krisis harga minyak dunia telah membawa dampak negatif pada berbagai sektor di luar minyak dan gas bumi (migas).
"Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia sedang memasuki krisis energi, dan dampak dari kondisi ini juga mulai dirasakan oleh sektor-sektor lain. Sikap pemerintah yang tegas sangat diperlukan agar risiko krisis energi di dalam negeri tidak berdampak lebih luas pada industri lainnya," kata Pri Agung Rakhmanto dalam pernyataan tertulis.
Menurut dia, efek domino dari krisis harga minyak menjalar bahkan sampai ke Indonesia, yang berakibat pada tersendatnya pertumbuhan ekonomi, terkendalanya kemajuan pembangunan pembangkit listrik, turunnya penyerapan angka tenaga kerja, tertundanya proyek infrastruktur, hingga dampak sosial lainnya yang lebih luas di masyarakat.
Akibat langsung yang dirasakan pada sektor migas adalah berkurangnya kegiatan eksplorasi untuk mencari cadangan migas yang baru, berkurangnya program pengeboran dan perawatan sumur, pengurangan tenaga kerja, serta turunnya minat investor terhadap penawaran wilayah-wilayah kerja baru oleh Pemerintah.
Apabila permasalahan ini tidak segera diselesaikan, Indonesia harus bersiap memasuki babak baru krisis energi.
Beberapa daerah di Indonesia mulai mengalami penundaan pelaksanaan proyek-proyek pembangunan dan perlambatan kinerja perekonomian, terutama di daerah-daerah penghasil migas.
Tekanan APBD yang paling besar terjadi di Provinsi Riau, Dana Bagi Hasil (DBH) migas berkurang secara signifikan sejak 2014 – 2016, yaitu sebesar Rp4,02 triliun.
Secara tidak langsung dampak dari krisis ini telah mempersempit peluang masyarakat untuk berusaha dalam sektor ekonomi lainnya.
Di sisi lain, ketidakpastian pasokan gas yang diperuntukkan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG), juga menjadi salah satu kendala pada proyek 35.000 MW yang sedang dikembangkan pemerintah.
Belum lagi Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai operator masih sibuk berkutat pada persoalan harga gas dengan pihak suplier.
Sampai sekarang belum dapat dipastikan pasokan gas akan diperoleh dari lapangan gas yang mana.
Pri Agung Rakhmanto mengimbau pemerintah segera mengambil berbagai langkah strategis untuk mengatasi dampak dari krisis migas ini.
Kebijakan yang mendorong investasi migas sangat diperlukan demi kembali meningkatnya kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas, terutama untuk menemukan sumber-sumber cadangan baru di Indonesia.
Pada 2030, kebutuhan energi Indonesia diperkirakan meningkat menjadi 2,8 juta barrel oil equivalent (BOE), atau hampir tiga kali lipat dari kebutuhan energi saat ini.
Dibutuhkan langkah tepat dari Pemerintah untuk menjamin ketersediaan energi di masa mendatang khususnya yang berasal dari produksi migas domestik.
Penetapan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 08/2017 yang mengatur perubahan aturan kontrak bagi hasil sektor migas menjadi gross split –sebelumnya cost recovery– oleh sebagian kalangan dipandang kurang pas dan mengurangi daya tarik investasi, karena pembuatan aturan tersebut lebih cenderung hanya memperhatikan satu pihak saja.
Seharusnya, pembuatan kebijakan memperhatikan kepentingan kedua belah pihak, yakni Pemerintah dan Investor.
"Kepemilikan barang dan peralatan yang dibeli kontraktor menjadi milik/ kekayaan negara, fleksibilitas untuk memilih skema antara gross split atau cost recovery yang masih ambigu dan angka bagi hasil yang ditetapkan pemerintah dalam peraturan tersebut, adalah beberapa hal dari Permen ESDM No. 08/2017 yang kiranya perlu di kaji ulang," kata Pri Agung.
"Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia sedang memasuki krisis energi, dan dampak dari kondisi ini juga mulai dirasakan oleh sektor-sektor lain. Sikap pemerintah yang tegas sangat diperlukan agar risiko krisis energi di dalam negeri tidak berdampak lebih luas pada industri lainnya," kata Pri Agung Rakhmanto dalam pernyataan tertulis.
Menurut dia, efek domino dari krisis harga minyak menjalar bahkan sampai ke Indonesia, yang berakibat pada tersendatnya pertumbuhan ekonomi, terkendalanya kemajuan pembangunan pembangkit listrik, turunnya penyerapan angka tenaga kerja, tertundanya proyek infrastruktur, hingga dampak sosial lainnya yang lebih luas di masyarakat.
Akibat langsung yang dirasakan pada sektor migas adalah berkurangnya kegiatan eksplorasi untuk mencari cadangan migas yang baru, berkurangnya program pengeboran dan perawatan sumur, pengurangan tenaga kerja, serta turunnya minat investor terhadap penawaran wilayah-wilayah kerja baru oleh Pemerintah.
Apabila permasalahan ini tidak segera diselesaikan, Indonesia harus bersiap memasuki babak baru krisis energi.
Beberapa daerah di Indonesia mulai mengalami penundaan pelaksanaan proyek-proyek pembangunan dan perlambatan kinerja perekonomian, terutama di daerah-daerah penghasil migas.
Tekanan APBD yang paling besar terjadi di Provinsi Riau, Dana Bagi Hasil (DBH) migas berkurang secara signifikan sejak 2014 – 2016, yaitu sebesar Rp4,02 triliun.
Secara tidak langsung dampak dari krisis ini telah mempersempit peluang masyarakat untuk berusaha dalam sektor ekonomi lainnya.
Di sisi lain, ketidakpastian pasokan gas yang diperuntukkan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG), juga menjadi salah satu kendala pada proyek 35.000 MW yang sedang dikembangkan pemerintah.
Belum lagi Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai operator masih sibuk berkutat pada persoalan harga gas dengan pihak suplier.
Sampai sekarang belum dapat dipastikan pasokan gas akan diperoleh dari lapangan gas yang mana.
Pri Agung Rakhmanto mengimbau pemerintah segera mengambil berbagai langkah strategis untuk mengatasi dampak dari krisis migas ini.
Kebijakan yang mendorong investasi migas sangat diperlukan demi kembali meningkatnya kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas, terutama untuk menemukan sumber-sumber cadangan baru di Indonesia.
Pada 2030, kebutuhan energi Indonesia diperkirakan meningkat menjadi 2,8 juta barrel oil equivalent (BOE), atau hampir tiga kali lipat dari kebutuhan energi saat ini.
Dibutuhkan langkah tepat dari Pemerintah untuk menjamin ketersediaan energi di masa mendatang khususnya yang berasal dari produksi migas domestik.
Penetapan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 08/2017 yang mengatur perubahan aturan kontrak bagi hasil sektor migas menjadi gross split –sebelumnya cost recovery– oleh sebagian kalangan dipandang kurang pas dan mengurangi daya tarik investasi, karena pembuatan aturan tersebut lebih cenderung hanya memperhatikan satu pihak saja.
Seharusnya, pembuatan kebijakan memperhatikan kepentingan kedua belah pihak, yakni Pemerintah dan Investor.
"Kepemilikan barang dan peralatan yang dibeli kontraktor menjadi milik/ kekayaan negara, fleksibilitas untuk memilih skema antara gross split atau cost recovery yang masih ambigu dan angka bagi hasil yang ditetapkan pemerintah dalam peraturan tersebut, adalah beberapa hal dari Permen ESDM No. 08/2017 yang kiranya perlu di kaji ulang," kata Pri Agung.