Jakarta (ANTARA News) - Kepala Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BBTMC-BPPT) Tri Handoko Seto mengatakan hujan es yang terjadi di Indonesia belum membahayakan karena ukuran diameter butiran esnya masih pada kisaran 1-2 centimeter (cm).

"Waspada iya tetap perlu, tetapi jangan takut berlebihan. Ini berbeda dengan hujan es di daerah lintang tengah atau lintang tinggi dimana diameter butiran es bisa di atas 10 cm, yang berpotensi merusak tanaman," kata Seto di Jakarta, Rabu.

Menurut dia, yang berbahaya bukan es yang terjadi di Indonesia bukan esnya tetapi anginnya yang biasanya kencang.

"Kecepatan es saat turun hujan es justru sedikit lebih lambat dari kecepatan turunnya air hujan, hanya memang momentumnya mungkin bisa sekitar lima kali hujan air. Biasanya daerah yang lebih dekat pantai dan atau gunung akan berpeluang lebih besar terjadi hujan es jika terdapat aktifitas konveksi yang hebat," ujar Seto.

Terkait penyebab hujan es ini, menurut dia, secara prinsip meteorologi, awan yang tinggi puncaknya melebihi titik beku (freezing level) maka awan tersebut memiliki bagian atas yang suhunya lebih rendah dari nol derajat celcius sehingga awan tersebut punya peluang sangat besar memproduksi es.

"Jika dalam awan tersebut terdapat inti es maka es kemudian terbentuk dari udara super dingin yang mengalami pengintian atau nukleasi es. Semakin tinggi puncak awan dan semakin banyak inti es maka es yang terbentuk makin banyak, meski pada perkembangan teknologi terbaru memperlihatkan bahwa inti es yang kelewat banyak justru menghambat proses pengintian," ujar dia.

Pada masa peralihan, ia mengatakan biasanya terjadi pembentukan awan secara konvektif dimana massa udara basah terangkat ke atas dan terbentuk awan sampai puncaknya melebihi freezing level dan terjadilah proses pengintian es sehingga bagian atas awan tersebut banyak mengandung es.

Ketika sudah cukup waktunya untuk terjadi hujan maka butiran atau bahkan gumpalan es juga akan jatuh ke permukaan bumi.

"Jika kondisi udara di bawah awan cukup lembab dan dingin maka butiran atau gumpalan es tersebut akan tetap menjadi es sampai permukaan bumi. Tetapi jika kondisi udara di bawah awan tidak cukup lembab dan dingin maka butiran atau gumpalan es akan mencair sehingga terjadi hujan air saja," ujar dia.

Intinya, menurut Seto, fenomena hujan es tidak menggambarkan fenomena yang spesifik kecuali adanya pertumbuhan awan konvektif yang masif dan kuatnya suplai massa udara sangat basah.

"Oleh karena itu di daerah lintang tengah atau lintang tinggi sering dilakukan teknologi modifikasi cuaca untuk mengurangi hujan es," ujar Seto.