"Ahoy," sapa Ketua Panitia Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) V Arifin "Monang" Saleh kepada ribuan perwakilan masyarakat adat Nusantara yang hadir di ruang sidang utama Abdul Kadir Harun Noeh di Kampung Tanjung Gusta, Sumatera Utara, pada Jumat (17/3).
Spontan sapaan itu dibalas lantang oleh ribuan yang hadir,"Ahoy!".
Kata-kata khas ini yang paling sering terdengar saat masyarakat adat dari berbagai daerah di Indonesia yang memiliki ragam bahasa daerah yang berbeda berkumpul dalam rangka KMAN V yang digelar sejak 15 hingga 19 Maret 2017 ini saling sapa.
Ruang sidang utama KMAN V yang berupa dua tenda super besar pagi itu tampak begitu berwarna dan ceria pada hari yang juga merupakan hari jadi AMAN yang ke-18. Perwakilan dari 2.304 komunitas adat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dengan pakaian adatnya yang berwarna-warni, dan ada yang datang sambil menyanyikan lagu khas adat mereka masing-masing.
Sebelum Monang menyampaikan pidatonya, lagu Indonesia Raya juga telah berkumandang di sana. Tanpa diiringi satu alat musik pun lagu kebangsaan Indonesia dinyanyikan lantang dengan penuh hikmat nyaris oleh seluruh mereka yang hadir.
Sejumlah perwakilan penduduk asli Panama, Honduras, Guatemala, Lembah Sungai Amazon dan Brasil ikut hadir. Begitu pula Duta Besar Norwegia untuk Indonesia Hilde Solbakken, dan beberapa wartawan asing juga berada di sana untuk menyaksikan langsung bagaimana kongres masyarakat adat yang digelar lima tahun sekali ini berjalan.
Monang mengatakan sebagian perwakilan hadir atas pendanaan mandiri, seperti halnya 35 pemuda adat Margo Benakat, Sumatera Selatan, yang datang ke Tanjung Gusta secara swadaya. Sekitar sebagian lainnya hadir atas pendanaan panitia dan sumber lain.
Ada harapan yang dibawa ketika mereka hadir mengikuti Kongres ke-V ini, yakni bisa mendengarkan dan berdialog dengan Presiden Joko Widodo atas nasib mereka. Tidak heran ketika, Kamis (16/3), sebagian dari mereka mendengar Sekjen AMAN Abdon Nababan mengatakan Presiden tidak dapat hadir, muncul reaksi spontan bernada kekecewaan dari mereka.
Kampung Tanjung Gusta
Pembaca laporan dan sambutan pada pembukaan KMAN V, dari Monang, Abdon, dan Gubernur Sumatera Utara Tengku Erry Nuradi menyebut perihal Kampung Tanjung Gusta atas panggung. Ada hal istimewa sehingga nama tempat yang menjadi lokasi digelarnya KMAN V ini disebutkan oleh semuanya.
Jika melihat secara fisik mungkin akan banyak yang bertanya bagian mana yang istimewa dari kampung dengan sebagian besar akses jalannya masih berupa tanah dan bergelombang ini. Dapat dibayangkan ketika musim kemarau debu sudah pasti beterbangan saat kendaraan melintas, sedangkan saat musim hujan tiba lumpur pun seperti tidak ingin lepas dari lapisan paling bawah alas kaki hingga ban-ban kendaraan yang melaluinya.
Kampung Tanjung Gusta merupakan salah satu wilayah yang jauh sebelum masa kemerdekaan telah didiami oleh Masyarakat Adat Penunggu. Lahan ini sempat dikontrak Pemerintah Belanda pada masa itu untuk dijadikan perkebunan tembakau, namun pada masa kemerdekaan lahan seluas 260.598 hektare (ha) ini ikut dinasionalisasi dan diserahkan untuk dikelola dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II.
Saat ini, 2.384 ha lahan sudah direklaim dari PTPN II, dan 310 ha di antara lahan tersebut merupakan wilayah Kampung Tanjung Gusta yang sebelumnya dijadikan perkebunan kelapa sawit.
Abdon dalam sambutannya mengatakan alasan lokasi yang becek dan berperkara ini dipilih karena tanah ini telah banyak menyaksikan pelanggaran HAM pascanasionalisasi tanah-tanah yang diduduki Belanda sejak 63 tahun lalu. Pemilihan lokasi ini sebagai bentuk penghormatan untuk Masyarakat Adat Penunggu.
Gubernur Sumatera Utara Tengku Erry Nuradi pada saat yang sama lantas berjanji bahwa Pemerintah Provinsi Sumatera Utara segera membentuk tim Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T).
"Nantinya tim IP4T ini saya instruksikan untuk turun ke masyarakat, guna melihat secara langsung dan membuat kajian detil secara sungguh-sungguh, agar tidak ada kepentingan masyarakat adat yang terabaikan. Pemprov Sumatera Utara mendukung Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial, dan mudah-mudahan tanah Masyarakat Adat Penunggu jadi yang pertama diserahkan melalui program-program tersebut," kata Erry.
Dialog atau konfrontasi?
Rangkaian KMAN V memang dilaksanakan sejak 15 Maret 2017 dengan Simposium Nasional tentang Tata Negara dan Reorganisasi Kelembagaan Negara; Melihat Ulang Kebijakan Negara atas Hak Masyarakat Adat dan Agenda Masa Depan yang fokus membahas tentang pentingnya percepatan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat.
Simposiun dilanjutkan dengan 17 sarasehan tematik selama dua hari yang dilaksanakan secara paralel dengan membahas berbagai isu-isu strategis dan penting yang dihadapi masyarakat adat.
Mulai dari isu Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu 2019, posisi Perempuan Adat dalam Negara dan Masyarakat Adat, disabilitas di tengah-tengah masyarakat adat, mitigasi dan adaptasi bencana, hingga spiritualitas dan kebudayaan, yang hasilnya akan menjadi rekomendasi dalam kongres.
Sedangkan kongres yang saat ini masih berlangsung secara tertutup di Kampung Tanjung Gusta akan menetapkan Sekretaris Jenderal (Sekjen) AMAN baru yang akan menggantikan Abdon Nababan yang telah menjabat selama dua periode, menentukan rencana strategis dalam lima tahun ke depan yang di dalamnya juga termasuk penentuan sikap politik masyarakat adat ke depan.
Abdon mengatakan dalam 10 tahun terakhir masyarakat adat mengambil jalan dialog dengan Pemerintah dan meninggalkan cara konfrontasi. Salah satu hal yang dicapai adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35 Tahun 2012 yang menyebutkan bahwa tanah adat bukan tanah negara.
Meski demikian, menurut dia, pelaksanaan putusan MK tersebut begitu lambat, sama halnya dengan pengesahan RUU Perlindungan dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat yang pengajuannya langsung ke Ketua DPR Marzuki Alie pada KMAN IV di Tobelo, Halmahera Utara, pada 2012.
Dalam draft yang RUU yang diserahkan ke DPR saat itu mencantumkan perihal pemberian mekanisme yang pasti bagi masyarakat adat agar dapat pengakuan hukum sebagai subyek hukum dalam hal hak atas tanah, sumberdaya alam, hak mengatur diri sendiri melalui lembaga dan hukum adat yang berlaku di wilayahnya, hak menganut dan mempraktikkan kepercayaan asli sesuai keyakinan leluhur, hak atas pengetahuan dan kekayaan intelektual yang melekat di masyarakat adat.
Ini yang, menurut Abdon, di tunggu oleh masyarakat adat. Bagaimana negara mengakui secara administratif sebagai subyek bukan lagi sebagai obyek hukum.
"Kami dituduh sebagai penjual-beli tanah dan perambah hutan, tidak bisa dipungkiri ada segelintir oknum seperti itu. Tapi kalau kami berjuang bersama Pemerintah maka kami akan menjaganya bersama, prinsip kami tetap sama di mana tanah dipijak di situ langit dijunjung," ujar Abdon.
Kasus lahan seperti yang ada di Kampung Tanjung Gusta hanya satu dari begitu banyak persoalan lahan yang dialami masyarakat adat hingga detik ini. Ia mengatakan ada kondisi sebelum putusan MK 35 bahwa wilayah adat 72 persen merupakan kawasan hutan dan menjadi hutan negara.
Tantangannya adalah bagaimana hutan negara tersebut dikembalikan lagi menjadi hutan adat. AMAN sudah berhasil memetakan 7,368 juta ha kawasan hutan dan Area Penggunaan Lain (APL) yang ada di wilayah adat, dan sekitar 1,627 juta ha berijin atau merupakan konsesi.
"Jangan akui yang bukan hak mu, dan perjuangan apa yang jadi hak mu. Setuju?" tanya Abdon lantang yang langsung dijawab "setuju" oleh ribuan masyarakat adat peserta Kongres Masyarakat Adat Nusantara V.
"Ahoy", dari kampung Tanjung Gusta
21 Maret 2017 07:28 WIB
Kongres Masyarakat Adat Nusantara Masyarakat adat berfoto di sela kegiatan Kongres Masyarakat Adat Nusantara V, di Deli Serdang, Sumatera Utara, Jumat (17/3/2017) (ANTARA /Irsan Mulyadi)
Oleh Virna Puspa Setyorini
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017
Tags: