GP Ansor dukung pemerintah soal Freeport
20 Maret 2017 14:54 WIB
Pengunjuk rasa dari Posko Perjuangan Rakyat (Pospera) menggelar aksi terkait kasus kisruh antara PT Freeport dengan pemerintah Indonesia, di Bandung, Jawa Barat, Selasa (7/3/2017). Dalam aksi tersebut Pospera mendukung segala bentuk kebijakan pemerintah dalam menghadapi PT Freeport, serta meminta pemerintah secara tegas menerapkan aturan dan pengelolaan sumber daya alam Indonesia. (ANTARA FOTO/Agus Bebeng)
Semarang (ANTARA News) - Gerakan Pemuda (GP) Ansor menyatakan dukungannya terhadap pemerintah, khususnya Kementerian ESDM dalam proses negosiasi dengan PT Freeport Indonesia yang sampai sekarang belum mencapai titik temu.
"Dukungan Ansor kepada pemerintah, dalam hal ini Menteri ESDM tidak akan surut," kata Ketua Umum PP GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas, berdasarkan siaran pers yang diterima Antara di Semarang, Senin.
Pernyataan itu diungkapkannya usai koordinasi Hari Lahir (Harlah) Ke-83 Ansor di Semarang, seraya mengapresiasi siap pemerintah yang masih tegas dalam proses negosiasi tersebut.
Menurut dia, sikap pemerintah yang menginginkan perubahan status kontrak karya (KK) Freeport menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) merupakan bentuk penguasaan negara terhadap sumber daya alam (SDA).
"Sikap pemerintah yang masih tegas dalam negosiasi, yakni perubahan kontrak karya menjadi IUPK, serta divestasi saham Freeport sebesar 51 persen, itu seperti yang kami harapkan sejak awal," katanya.
Tujuannya, kata dia, agar pengelolaan SDA lebih berkeadilan dan menguntungkan Indonesia, sebab selama ini keuntungan yang diberikan Freeport Indonesia kepada negara masih jauh dari harapan.
"Terutama, terkait kesejahteraan rakyat, sistem pengelolaan, dan penerimaan negara. Langkah perubahan kontrak karya menjadi IUPK itu agar pengelolaan lebih berkeadilan dan menguntungkan Indonesia," katanya.
Sebab, kata Yaqut yang juga anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI tersebut, peran pemerintah dalam IUPK lebih besar daripada kontrak karya yang kedua belah pihak setara.
Menilik ke belakang, ia juga mengapresiasi upaya pemerintah dalam memberantas kecurangan atau mafia dalam bisnis minyak dan gas bumi (migas).
Ia mengatakan sampai akhir 2016 masih menggunakan sistem PSC (Production Sharing Contract) dengan cost recovery dalam bisnis migas, namun skema "cost recovery" itu tidak efisien, menimbulkan kecurangan, penggelembungan biaya, hingga biaya siluman, dan korupsi.
"Ada potensi kecurangan dalam sistem PSC Cost Recovery itu, seperti data yang dimanipulasi dan biaya cost recovery yang harus dibayarkan negara kepada KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) lebih besar dari yang diterima negara," katanya.
Kementerian ESDM, kata dia, kemudian mencoba melakukan terobosan dengan mengubah PSC Cost Recovery menjadi Gross Split yang skemanya merupakan hal baru dengan pembagian yang lebih menguntungkan negara.
"Ini merupakan rentetan upaya pemerintah dalam menguasai kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyat, sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945," tegasnya.
Tentunya, kata Yaqut, hal tersebut berlaku pula dalam proses negosiasi dengan Freeport yang sudah berpuluh tahun menguasai tambang di Papua dengan penghasilan besar setiap tahun, namun yang diberikan kepada negara hanya sekian persen dari keuntungan yang diterima perusahaan asal Amerika Serikat (AS) itu.
"Begitu juga dengan nilai upah kepada pekerja di Indonesia yang perbandingannya cukup jauh. Kesenjangan upah yang diterima pekerja di Freeport tidak manusiawi. Bahkan, menjadi bentuk eksploitasi sumber daya secara tidak berkeadilan dan tidak berpihak pada penduduk lokal," pungkasnya.
"Dukungan Ansor kepada pemerintah, dalam hal ini Menteri ESDM tidak akan surut," kata Ketua Umum PP GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas, berdasarkan siaran pers yang diterima Antara di Semarang, Senin.
Pernyataan itu diungkapkannya usai koordinasi Hari Lahir (Harlah) Ke-83 Ansor di Semarang, seraya mengapresiasi siap pemerintah yang masih tegas dalam proses negosiasi tersebut.
Menurut dia, sikap pemerintah yang menginginkan perubahan status kontrak karya (KK) Freeport menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) merupakan bentuk penguasaan negara terhadap sumber daya alam (SDA).
"Sikap pemerintah yang masih tegas dalam negosiasi, yakni perubahan kontrak karya menjadi IUPK, serta divestasi saham Freeport sebesar 51 persen, itu seperti yang kami harapkan sejak awal," katanya.
Tujuannya, kata dia, agar pengelolaan SDA lebih berkeadilan dan menguntungkan Indonesia, sebab selama ini keuntungan yang diberikan Freeport Indonesia kepada negara masih jauh dari harapan.
"Terutama, terkait kesejahteraan rakyat, sistem pengelolaan, dan penerimaan negara. Langkah perubahan kontrak karya menjadi IUPK itu agar pengelolaan lebih berkeadilan dan menguntungkan Indonesia," katanya.
Sebab, kata Yaqut yang juga anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI tersebut, peran pemerintah dalam IUPK lebih besar daripada kontrak karya yang kedua belah pihak setara.
Menilik ke belakang, ia juga mengapresiasi upaya pemerintah dalam memberantas kecurangan atau mafia dalam bisnis minyak dan gas bumi (migas).
Ia mengatakan sampai akhir 2016 masih menggunakan sistem PSC (Production Sharing Contract) dengan cost recovery dalam bisnis migas, namun skema "cost recovery" itu tidak efisien, menimbulkan kecurangan, penggelembungan biaya, hingga biaya siluman, dan korupsi.
"Ada potensi kecurangan dalam sistem PSC Cost Recovery itu, seperti data yang dimanipulasi dan biaya cost recovery yang harus dibayarkan negara kepada KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) lebih besar dari yang diterima negara," katanya.
Kementerian ESDM, kata dia, kemudian mencoba melakukan terobosan dengan mengubah PSC Cost Recovery menjadi Gross Split yang skemanya merupakan hal baru dengan pembagian yang lebih menguntungkan negara.
"Ini merupakan rentetan upaya pemerintah dalam menguasai kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyat, sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945," tegasnya.
Tentunya, kata Yaqut, hal tersebut berlaku pula dalam proses negosiasi dengan Freeport yang sudah berpuluh tahun menguasai tambang di Papua dengan penghasilan besar setiap tahun, namun yang diberikan kepada negara hanya sekian persen dari keuntungan yang diterima perusahaan asal Amerika Serikat (AS) itu.
"Begitu juga dengan nilai upah kepada pekerja di Indonesia yang perbandingannya cukup jauh. Kesenjangan upah yang diterima pekerja di Freeport tidak manusiawi. Bahkan, menjadi bentuk eksploitasi sumber daya secara tidak berkeadilan dan tidak berpihak pada penduduk lokal," pungkasnya.
Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2017
Tags: