Jakarta (ANTARA News) - Pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengirimkan sekitar 1.000 serdadu untuk bergabung dengan 500 serdadu AS lainnya sudah berada di Suriah utara, menjelang operasi militer besar-besaran mengusir ISIS dari ibu kota de facto-nya, Raqqa.

Pekan lalu Pasukan Demokratik Suriah Kurdi (SDF) telah menutup semua jalur masuk dan keluar Raqqa sehingga ofensif untuk merebut kembali kota itu diperkirakan akan segera dilancarkan.

Keputusan mengirimkan pasukan darat ke Suriah ini berbeda sekali dengan kebijakan yang diambil pendahulu Trump, Barack Obama, yang bersikeras menolak mengirimkan banyak-banyak pasukan darat ke Suriah karena akan menjerumuskan AS untuk terlibat lebih jauh dalam perang saudara Suriah.

Para analis memperkirakan kehadiran militer AS dalam jumlah besar akan membuat negara itu bentrok dengan pasukan Rusia yang sudah beroperasi di Suriah atas permintaan Presiden Suriah Bashar al-Assad.

Namun pasukan yang baru dihadirkan itu tak akan turut angkat senjata, melainkan sebagai penasihat untuk para pejuang Arab dan Kurdi di Suriah seperti dilakukan militer AS di Irak yang sekarang tengah mengurung ISIS di Mosul.

'Ini tetap oleh, dengan dan melalui mitra-mitra lokal kami di lapangan," kata salah seorang pejabat Pentagon seperti dikutip The Independent.

Berbeda dari Obama, Trump ingin secepatnya melenyapkan ISIS. Namun, Trump yang sebelumnya pernah menyatakan ingin bekerjasama dengan Rusia dalam melawan ISIS, sepertinya tidak memiliki rencana bekerjasama dengan Rusia dalam ofensif ke Raqqa.

Namun AS harus menghadapi masalah dari Turki yang juga sekutunya. Turki tidak menyukai SDF, khususnya Kurdi yang dianggapnya teroris, sebaliknya AS menganggap Kurdi sebagai payung utama koalisi melawan ISIS karena dianggap sebagai kekuatan paling efektif dalam melawan ISIS.