Cianjur (ANTARA News) - Sejumlah kepala sekolah di Cianjur, Jawa Barat, mengaku keberatan dengan salah satu poin dalam kesepakatan bersama "Cianjur Anti Tawuran" yang menyebut kepala sekolah dan guru akan dinonaktifkan bila kedapatan siswanya tawuran.

Kepala SMKN 1 Cipanas, Ida Yuniati Surtika, pada wartawan, Rabu, mengatakan, kesepakatan bersama anti tawuran tersebut penting untuk menekan angka tawuran, namun sanksi penonaktifan kepala sekolah dianggapnya berlebihan. Soal tawuran, kata Ida, merupakan tanggungjawab bersama.

"Tawuran ini masalah tanggungjawab bersama, tidak bisa begitu saja menyalahkan kepala sekolah atau gurukarena ada komponen penting lainnya seperti lingkungan dan orangtua. Tapi yang dititik beratkan malah kepala sekolah dan guru, sampai ada sanksi nonaktif selama beberapa waktu," katanya.

Dia menjelaskan, aksi tawuran terjadi di luar jam sekolah, dimana seharusnya lingkungan dan orangtuang berperan besar untuk mencegah anaknya terlibat kegiatan negatif tersebut. Ketika sekolah yang sisanya terlibat tauran, namun kepala sekolah dan guru yang disanksi.

"Maka proses pembelajaran akan berhenti, dimana hal tersebut akan memperburuk pendidikan dan pembinaan siswa. Dalam kesepakatan itu, tidak dijelakan guru apa yang disanksi yang bisa ditafsirkan seluruh guru. Ketika itu terjadi maka pembinaan akan terhenti," katanya.

Dia menuturkan, masih banyak solusi untuk mencegah terjadinya tawuran seperti siswa yang terlibat diberi sanksi belum lulus atau penundaan kenaikan kelas, selanjutnya akan dilakukan pembinaan di dinas sosial.

Kepala SMK Angkatan Muda Siliwangi (AMS) Cianjur, Deni Koswara, mengungkapkan, kebijakan tersebut dinilai kontroversial dan belum

sepenuhnya dapat diterima, meskipun penandatanganan telah dilakukan."Mungkin nanti dapat dilakukan revisi kembali, agar tidak merugikan banyak pihak karena kami tidak mau siswa kami terlibat tawuran," katanya.

Wakil Bupati Cianjur, Herman Suherman akan tetap mempertahankan komitmen sanksi yang telah disepakati dalam Cianjur Anti Tawuran. Tidak hanya sanksi untuk siswa, termasuk guru dan kepala sekolah yang tidak maksimal dalam pencegahan akan terkena imbasnya.

"Sanksi dinonfungsikan sementara akan menjadi shock terapi bagi kepala sekolah dan guru. Makanya harus maksimal dalam mencegah tawuran agar tidak dikenakan sanksi," katanya.

Dia menuturkan, tidak hanya kepada kepala sekolah dan guru, orang tua siswa akan mendapatkan sanksi secara tidak langsung, dimana anaknya akan direhab atau diproses hukum ketika melakukan aksi tawuran. Siswa yang dikeluarkan dari sekolah tidak akan diterima di sekolah manapun di Cianjur," katanya.

Ketika menjalani rehabilitasi, siswa bermalasah itu, akan dididik dan dibina agar jadi produktif, termasuk pendidikan formal layaknya di sekolah pun tetap diberikan, sehingga masa depan mereka tidak akan hancur.

"Aturan tersebut tidak akan diubah dan semua pihak telah berkomitmen untuk menjalankan demi Cianjur yang bebas tawuran. Lebih baik mengorbankan satu anak dibandingkan harus banyak korban yang jatuh karena aksi tawuran," katanya.