Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Kelautan dan Perikanan berkoordinasi dengan berbagai pihak terkait dalam rangka mencari tahu mengenai kabar kerusakan terumbu karang di Raja Ampat, Papua Barat, yang disebabkan oleh kapal pesiar milik perusahaan asal Inggris Raya.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti ketika ditanyakan wartawan di kantor KKP, Jakarta, Senin malam, mengatakan, pihaknya berkoordinasi dengan berbagai pihak seperti dengan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman.

Sementara itu, Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Brahmantya Satyamurti mengatakan, pihaknya sedang mengumpulkan data mengenai bagaimana sesungguhnya peristiwa pengrusakan terumbu karang itu bisa terjadi.

Brahmantya juga mengungkapkan bahwa pada hari Rabu (14/3) mendatang juga bakal ada rapat internal di antara berbagai lembaga pemerintahan mengenai hal tersebut.

Oleh karena itu, ujar dia, pihaknya juga masih belum bisa mengungkapkan seberapa besar kerusakan yang ditimbulkan atau berapa nilai kerugian yang muncul akibat peristiwa nahas itu.

Sebagaimana dilansir oleh laman media Guardian asal Inggris pada tanggal 10 Maret 2017, terdapat berita dengan judul "British-owned cruise ship wrecks one of Indonesias best coral reefs".

Dalam pemberitaan tersebut disebutkan bahwa terumbu karang Raja Ampat, yang merupakan rumah bagi keragaman hayati kelautan terkaya di dunia, rusak parah karena kapal pesiar menabraknya saat air laut sedang surut.

Kapal berukuran panjang 90 meter Caledonian Sky, yang dimiliki perusahaan operator tur Noble Caledonia itu, kandas di kawasan perairan Provinsi Papua Barat itu setelah menyelesaikan lawatan mengamati burung di Pulau Waigeo pada 4 Maret lalu.

Pihak perusahaan itu menyebutkan kejadian itu "sangat disesalkan" dan juga menyebutkan bahwa mereka akan "kooperatif sepenuhnya dengan pihak berwenang".

Kerusakan yang berdampak kepada bodi kapal tersebut dinilai minimal, dan pihak pengemudi kapal itu juga dinyatakan telah diberikan pertanyaan oleh aparat.

Kapal Caledonian berbobot 4,290 ton itu membawa sebanyak 102 penumpang dan 79 kru dalam perjalanan 16 hari dari negara Papua Nugini menuju Filipina.

Insiden itu dilaporkan mengakibatkan kerusakan dalam struktur habitat ekosistem perairan tersebut dan hilangnya keanekaragaman hayati di sana.