"Kalau merasa bukan seorang petualang, lebih baik tidak usah bermimpi mau berwisata minat khusus ke pedalaman Mentawai," kata Ade Permana Saputra, seorang pemandu wisata di Muara Siberut, Kepulauan Mentawai.
Ade merasa perlu mengingatkan setiap tamu yang didampinginya, gara-gara kejadian saat mengantar rombongan wisatawan lokal dari Jakarta menuju pedalaman Dusun Rogogot, Desa Madobak, Siberut Selatan pada akhir Februari lalu.
Ketika itu, beberapa tamu gadis muda berusia sekitar 20-an, menjerit-jerit ketakukan saat menembus gelap menyusuri sungai ke hulu, menuju Desa Madobak. Sebelumnya mereka juga histeris saat kapal yang ditumpangi dari Tuapejat, Ibukota Kabupaten Kepulauan Mentawai, dihantam ombak besar Samudera Hindia saat menuju Muara Siberut.
"Katanya petualang, masak gelap aja takut. Mungkin karena mereka anak kota yang tidak terbiasa berada di kegelapan," kata Ade yang lebih akrab disapa Kep itu.
Mereka yang berwisata budaya ke pedalaman Mentawai memang dituntut untuk memiliki kesiapan mental dan fisik yang kuat karena beratnya medan yang harus dilalui, yaitu menyeberangi Samudera Hindia dari Pelabuhan Muaro Padang, dilanjutkan dengan penyusuri sungai ke pedalaman, ditambah dengan berjalan kaki.
Sesampai di Kepulauan Mentawai, perjalanan diawali dari Muara Siberut, ibukota Kecamatan Siberut Selatan dengan menaiki sampan kayu bermotor yang oleh penduduk lokal disebut pompong. Untuk menaiki pompong pun bukan perkara mudah bagi mereka yang tidak terbiasa karena sampan tersebut tidak dilengkapi dengan kayu penyembang atau cadik di kiri dan kanan.
Salah melangkah atau tidak bisa menjaga keseimbangan, perahu akan oleng dan bahkan terbalik menumpahkan seluruh isinya ke sungai yang berarus cukup deras, terutama pada saat musim hujan
Sampan yang terbuat dari pohon besar, rata-rata memiliki panjang antara tujuh sampai sembilan meter dan lebar sekitar 60cm, hanya mampu memuat maksimal enam penumpang. Bila bermuatan penuh, jarak antara bibir perahu dengan permukaan air sungai tidak lebih dari satu jengkal.
Di sampan kecil itulah, rombongan wisatawan harus menguji kekuatan pinggang karena harus duduk meringkuk selama empat jam saat menyusuri sungai menuju Desa Rogogot.
Perjalanan selama 30 menit pertama terasa nyaman karena sungai dengan lebar rata-rata 25 meter, memiliki arus cukup tenang sehingga sehingga sampan bermotor tersebut bisa melaju tanpa hambatan.
Nelayan yang sedang mencari ikan, petani yang sedang mengolah sagu, atau anak-anak yang bermain dengan riang sambil memanjat pohon kelapa yang menjorok ke sungai, menyuguhkan pemandangan tersendiri selama perjalanan.
Semakin lama dan semakin dekat ke desa yang dituju, sungai mulai menyempit dan banyak halangan yang ditemui seperti pohon besar melintang sehingga pengemudi harus hati memilih jalur agar tidak merusak baling-baling motor sampan.
Bagian yang paling berat adalah saat perjalanan harus dilanjutkan dengan berjalan kaki karena desa yang dituju tidak berada langsung di pinggir sungai. Diperlukan waktu setidaknya satu jam berjalan kaki sambil membawa bekal di ransel.
Disinilah kondisi fisik dan mental diuji karena jalan yang ditempuh adalah jalan setapak yang sebagian besar berupa tanah berlumpur. Agar tidak terperosok ke dalam kubangan lumpur, warga setempat membentangkan pohon atau kulit batang sagu.
Jika tidak bisa menjaga keseimbangan saat meniti pohon sambil membawa beban, yang terjadi kemudian adalah terperosok ke lumpur sedalam lutut orang dewasa. Dan jika tidak menggunakan sepatu bot, tidak jarang sepatu yang dipakai terlepas dan tertinggal di dalam lumpur.
Namun rasa lelah selama perjalanan yang penuh perjuangan tersebut akan segera terobati saat sampai ditujuan, saat mendapat sambutan ramah dan bersahabat dari keluarga Aman Andres, sikerei atau ahli pengobatan tradisional Mentawai yang juga bertindak sebagai pemuka adat.
Dunia lain
Sesampai di rumah besar (uma) keluarga Aman Andres di Desa Rogogot, terlihat seorang turis asing asal Swiss bernama Lars. Pria jangkung berusia 20-an dengan tinggi sekitar dua meter itu mengaku sudah tiga hari berada di uma tersebut dan merasa seolah berada di dunia lain yang jauh dari beradaban modern.
Ia mengenal Mentawai melalui cerita ayahnya yang seorang peneliti saat ia masih kanak-kanak.
"Saat itu saya menjadi penasaran ingin datang sendiri langsung ke Mentawai," kata Lars yang merasa betah berada di pedalaman Mentawai dan ingin memperpanjang liburannya, tapi terkendala oleh masa berlaku visa yang sudah hampir habis.
Rasa penasarannya pun terpenuhi setelah menyaksikan kehidupan di pedalaman Mentawai, yang tidak banyak berbeda sebagaimana cerita ayahnya, seperti bagaimana ritual pengobatan oleh sikerei, tatto di sekujur tubuh mereka, ornamen-ornamen di uma yang penuh dengan tongkorak monyet hasil buruan.
Selain lokasi surfing yang disebut-sebut terbaik di dunia setelah Hawaii, wisata budaya ke pedalaman merupakan salah satu atraksi yang disukai, baik oleh wisatawan lokal maupun mancanegara.
Suardi Kujo, seorang pengusaha biro perjalanan di Padang mengatakan bahwa wisata budaya ke pedalaman Mentawai masih menyimpan daya tarik dan potensi yang tidak habis untuk dieksplorasi.
Di saat banyak wisata yang sudah jenuh dengan jenis wisata mainstream, maka Mentawai pun menjadi pilihan bagi wisatawan dengan minat khusus dan lebih suka hal-hal yang menantang dan lain dari yang lain.
"Meski di pedalaman sama sekali tidak ada listrik, apalagi sinyal telpon genggam, dan penuh perjuangan untuk mencapainya, orang tetap saja penasaran ingin ke sana karena menginginkan sesuatu yang beda dengan lain, terutama kehidupan masyarakat yang masih asli," kata Kujo.
Yang disukai wisatawan adalah bagaimana mereka tidak hanya menyaksikan aktivitas suku asli Mentawai, tapi juga langsung terlibat seolah-olah menjadi anggota keluarga. Kegiatan tersebut diantaranya adalah berburu, mengolah sagu, mencari ikan di sungai dengan jaring serok, membuat racun panah lalu berburu, menyaksikan tarian tradisional, membuat tatto, dan banyak kegiatan lain.
Bagi mereka yang berminat ke pedalaman Mentawai, pemandu wisata Ade Kep mengingatkan bahwa orang Mentawai, baik pria maupun wanita adalah perokok berat dan jangan lupa membawa oleh-oleh berupa tembakau yang bisa dibeli di Muara Siberut.
Pedalaman Mentawai, wisata ke dunia lain
11 Maret 2017 11:23 WIB
Salah Satu rumah panggung (uma) di pedalaman Mentai, Sumbar. (ANTARA/Atman Ahdiat)
Oleh Atman Ahdiat
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017
Tags: