Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dijadwalkan menghadirkan delapan saksi dalam sidang kedua terkait tindak pidana korupsi pengadaan paket KTP elektronik (KTP-E) tahun anggaran 2011-2012.

"Karena tidak ada eksepsi dari pihak terdakwa kami berencana akan menghadirkan delapan saksi dalam persidangan kedua. Belum kami bisa sebutkan namanya," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Jumat.

Febri mengatakan dari koordinasi yang sudah dilakukan KPK bahwa pemeriksaan saksi-saksi akan dilakukan dalam 90 hari kerja ke depan.

"Jadi, 90 hari kerja ke depan mulai dari pembacaan dakwaan, kami akan hadirkan total 133 saksi pada persidangan," tuturnya.

Menurut Febri, KPK akan mendalami beberapa fakta-fakta yang memang sudah dimunculkan dalam dakwaan dan informasi-informasi lain yang kami harap bisa selesai dalam waktu 90 hari kerja.

"KPK juga siap untuk melakukan persidangan dua atau tiga kali dalam seminggu agar target sembilan 90 hari kerja maksimal itu bisa tercapai dan substansi dari perkara ini bisa tergali lebih jauh," ucap Febri.

Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK akan menghadirkan 133 saksi untuk membuktikan perbuatan korupsi dalam pengadan KTP elektroni tahun anggaran 2011-2012 yang diduga merugikan keuangan negara hingga Rp2,314 triliun dari total anggaran Rp5,95 triliun.

Dalam persidangan pertama terungkap ada puluhan anggota DPR periode 2009-2014, pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), staf Kemendagri, auditor BPK, swasta hingga korporasi yang menikmati aliran dana proyek KTP-E tersebut.

Pemeriksaan saksi nantinya juga untuk membuktikan imbalan yang diperoleh oleh anggota DPR dan pihak lain karena menyetujui anggaran KTP-E pada 2010 dengan anggaran Rp5,9 triliun yang proses pembahasannya.

Adapun kesepakatan pembagian anggarannya adalah Pertama, 51 persen atau sejumlah Rp2,662 triliun dipergunakan untuk belanja modal atau riil pembiayaan proyek.

Kedua, Rp2,558 triliun akan dibagi-bagikan kepada Beberapa pejabat Kemendagri termasuk Irman dan Sugiharto sebesar 7 persen atau Rp365,4 miliar.

Lalu, anggota Komisi II DPR sebesar 5 persen atau sejumlah Rp261 miliar serta Setya Novanto dan Andi Agustinus sebesar 11 persen atau sejumlah Rp574,2 miliar serta Anas Urbaningrum dan M Nazarudin sebesar 11 persen sejumlah Rp574,2 miliar.

Berikutnya keuntungan pelaksana pekerjaan atau rekanan sebesar 15 persen sejumlah Rp783 miliar.

Terdakwa dalam kasus ini adalah Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Pejabat Pembuat Komitmen pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto.

Atas perbuatannya, Irman dan Sugiharto didakwa berdasarkan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.