Kupang (ANTARA News) - Pengamat politik dari Universitas Katolik Widya Mandira Kupang Marianus Kleden berpendapat, sikap pasangan calon yang tidak menggunakan hak untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK), karena gugatan ke MK sangat melelahkan.

"Sebenarnya ada juga gugatan tetapi tidak diteruskan ke MK karena sangat melelahkan dan tidak akan mengubah hasil," kata Marianus Kleden kepada Antara di Kupang, Jumad terkait sikap politik pasangan calon yang tidak menggugat ke MK.

Pilkada yang berlangsung serentak di tiga daerah di Provinsi Nusa Tenggara Timur, masing-masing Kabupaten Flores Timur, Lembata dan Kota Kupang sudah selesai sejak pesta demokrasi rakyat itu digelar pada 15 Februari 2017.

Tidak ada satu pasangan calonpun yang menggugat Komisi Pemilihan Umum ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Mengenai pembatasan MK, Dekan Fakultas Ilmu Pemerintahan Unwira ini mengatakan, MK selalu membuat pertimbangan politis. Apa maslahat dan mudarat dari keputusannya.

"Kalau ada pelanggaran tetapi kecil, maka pelanggaran itu diabaikan saja karena mengulang pemilu saja menimbulkan gejolak sosial ekonomi yang besar," kata Dosen Antropologi Politik pada Fisip Unwira itu.

Dia menambahkan, sikap politik pasangan calon itu, tidak berarti bahwa kualitas demokrasi sudah semakin baik.

"Menurut saya, mutu pilkada tidak banyak berubah. Transparansi sering menjadi soal," katanya.

Pandangan hampir sama disampaikan, Pengamat politik dari Universitas Muhammadya Kupang Dr. Ahmad Atang menilai, sikap pasangan calon yang tidak menggunakan hak untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) patut diapresiasi.

"Saya kira hanya hasil pilkada di Nusa Tenggara Timur saja yang tidak digugat ke MK. Sikap pasangan calon ini merupakan bentuk pengghargaan terhadap kedaulatan rakyat dan patut diapresiasi," kata Ahmad Atang.

Namun menurut dia, keengganan pasangan calon untuk melakukan gugatan ke MK dapat diduga karena beberapa hal. Pertama, berdasarkan pengalaman bahwa gugatan paslon yang kalah tidak serta merta dikabulkan oleh MK.

Pasangan calon yang kalah harus memiliki bukti yang benar-benar valid. Pada titik ini pasangan calon justru punya kekurangan soal alat bukti.

Kedua, MK telah membatasi pengajuan gugatan sengketa selisih suara hasil pilkada manakala terjadi selisi suara kurang dari dua persen, apabila lebih dari itu maka gugatan akan ditolak. Dengan begitu, maka pasangan calon yang kalah dengan selisih suara lebih dari dua persen tentu tidak punya ruang hukum. Ketiga, sidang gugatan selalu menguras tenaga, biaya dan waktu, katanya.