Industri hasil tembakau berkontribusi besar bagi ekonomi nasional
10 Maret 2017 13:04 WIB
Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto, mencoba pengerjaan pembuatan kretek, di KUD SKT Suko Rejo Jawa Timur. (Kementerian Perindustrian)
Jakarta (ANTARA News) - Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto, mengatakan, industri hasil tembakau (IHT) merupakan salah satu sektor strategis domestik yang memiliki daya saing tinggi dan terus memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional.
Sumbangan sektor yang dikategorikan sebagai kearifan lokal ini meliputi penyerapan tenaga kerja, pendapatan negara melalui cukai serta menjadi komoditas penting bagi petani dari hasil perkebunan berupa tembakau dan cengkeh.
“Kontribusi industri hasil tembakau cukup tinggi setelah industri makanan dan minuman. Di Jawa Timur, industri ini menjadi unggulan. Fasilitas KUD di sini juga luar biasa serta telah melakukan bentuk kemitraan perusahaan dengan koperasi,” kata dia, ketika mengunjungi Paguyuban Mitra Produksi Sigaret Indonesia (MPSI) di Sukorejo, Jawa Timur.
Kementerian Perindustrian mencatat, pendapatan negara dari IHT yang berasal dari cukai dan pajak setiap tahunnya mengalami peningkatan. Kontribusi IHT pada 2016 memberikan pembayaran cukai sebesar Rp138,69 triliun atau 96,65 persen dari total cukai nasional.
Sedangkan serapan tenaga kerja di sektor manufaktur dan distribusi mencapai 4,28 juta orang serta di sektor perkebunan sebanyak 1,7 juta orang.
“Perkembangan industri ini telah menjadi bagian sejarah bangsa dan budaya masyarakat kita, khususnya rokok kretek yang merupakan komoditas berbasis tembakau dan cengkeh yang sangat Indonesia serta merupakan warisan nenek moyang bangsa dan sudah mengakar secara turun-temurun,” papar dia melalui keterangan tertulis.
Namun demikian, penurunan unit usaha industri rokok tidak disertai dengan penurunan produksi. Pada 2014, jumlah industrinya mencapai 700 perusahaan dengan kemampuan produksi sebanyak 346,3 miliar batang.
Sedangkan dengan jumlah 600 perusahaan di 2015, produksi rokok naik menjadi 348,1 miliar batang dan tahun 2016 sebesar 350,03 miliar batang.
“Tetapi terjadi penurunan sebesar 3,5 persen dalam lima tahun terakhir atas jumlah pekerja sektor manufaktur rokok dan pada perkebunan tembakau turun sebesar 4,7 persen,” ungkapnya.
Menurut dia, pangsa pasar IHT saat ini mulai berubah karena dipengaruhi gaya hidup masyarakat perokok yang memperhatikan kesehatannya dengan memilih rokok yang mengandung tar dan nikotin rendah, sehingga masyarakat perokok mengarah ke Sigaret Kretek Mesin (SKM), baik jenis reguler maupun mild.
Data pangsa pasar dari jenis rokok pada tahun 2016, untuk SKM sebesar 72,07 persen, Sigaret Kretek Tangan (SKT) sebesar 20,23 persen, dan Sigaret Putih Mesin (SPM) sebesar 5,43 persen. Sisanya, antara lain rokok Klobot dan Klembak menyan sebesar 2,27 persen.
Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian, Panggah Susanto, mengatakan, penyusunan aturan dan kebijakan soal tembakau harus sangat hati-hati karena berdampak pada hajat hidup orang banyak.
“Di bawah MPSI saja ada 40.800 pekerja, belum dari yang lain. Ini menyangkut perut sekian ribu orang dan keluarganya. Ini yang kadang-kadang pembahasannya tidak seimbang,” katanya.
Panggah menilai penerapan kuota harus realistis sesuai kebutuhan industri rokok dalam negeri. Impor tembakau tidak bisa langsung dihentikan jika pasokan bahan baku buat industri tidak terjamin.
Kebijakan yang diambil pemerintah seharusnya fokus meningkatkan produksi tembakau dalam negeri agar bisa memenuhi seluruh kebutuhan bahan baku industri rokok.
Sementara itu, Ketua Paguyuban MPSI, Djoko Wahyudi, berharap agar mitranya tidak mengalihkan produksinya ke mesin.
“Karena ada sisi yang perlu diperhatikan, yakni tenaga kerja,” ungkapnya. Dia pun memberikan apresiasi kepada Kemenperin selaku pembina industri yang terus memperhatikan keberadaan sektor SKT. “Terkait regulasi, memang perlu diatur agar dampak negatifnya tidak lebih dominan,” imbuhnya.
Paguyuban MPSI merupakan wadah yang terdiri dari 38 perusahaan produsen SKT yang bermitra dengan PT. Sampoerna di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Produksinya telah mencapai 15 miliar batang per tahun dengan mempekerjakan karyawan sebanyak 40.000 orang. MPSI tidak menutup kemungkinan untuk bermitra dengan perusahaan lain.
Wahyudi juga mengatakan, kalaupun industri rokok dalam negeri jatuh, tak berarti masyarakat akan berhenti merokok. Malah, Indonesia nantinya hanya menjadi pasar bagi rokok ilegal impor.
"Kalau rokok ilegal tanpa cukai itu dibuat dalam negeri masih mending. Tidak dapat cukai, tapi dapat tembakau dan tenaga kerja. Tapi kalau produksinya dari luar, kita tidak dapat pekerjaan dan cukai, bahkan kesehatan pun tidak dapat. Jadi rugi semua," sebutnya.
Menurut Djoko, Indonesia selama ini kerap diincar sebagai pasar bagi produsen rokok ilegal dari berbagai negara.
“Kami mendukung penuh pembatasan impor tembakau asal pemerintah mendorong produksi dalam negeri dan membatasinya secara bertahap,” ujarnya.
Sumbangan sektor yang dikategorikan sebagai kearifan lokal ini meliputi penyerapan tenaga kerja, pendapatan negara melalui cukai serta menjadi komoditas penting bagi petani dari hasil perkebunan berupa tembakau dan cengkeh.
“Kontribusi industri hasil tembakau cukup tinggi setelah industri makanan dan minuman. Di Jawa Timur, industri ini menjadi unggulan. Fasilitas KUD di sini juga luar biasa serta telah melakukan bentuk kemitraan perusahaan dengan koperasi,” kata dia, ketika mengunjungi Paguyuban Mitra Produksi Sigaret Indonesia (MPSI) di Sukorejo, Jawa Timur.
Kementerian Perindustrian mencatat, pendapatan negara dari IHT yang berasal dari cukai dan pajak setiap tahunnya mengalami peningkatan. Kontribusi IHT pada 2016 memberikan pembayaran cukai sebesar Rp138,69 triliun atau 96,65 persen dari total cukai nasional.
Sedangkan serapan tenaga kerja di sektor manufaktur dan distribusi mencapai 4,28 juta orang serta di sektor perkebunan sebanyak 1,7 juta orang.
“Perkembangan industri ini telah menjadi bagian sejarah bangsa dan budaya masyarakat kita, khususnya rokok kretek yang merupakan komoditas berbasis tembakau dan cengkeh yang sangat Indonesia serta merupakan warisan nenek moyang bangsa dan sudah mengakar secara turun-temurun,” papar dia melalui keterangan tertulis.
Namun demikian, penurunan unit usaha industri rokok tidak disertai dengan penurunan produksi. Pada 2014, jumlah industrinya mencapai 700 perusahaan dengan kemampuan produksi sebanyak 346,3 miliar batang.
Sedangkan dengan jumlah 600 perusahaan di 2015, produksi rokok naik menjadi 348,1 miliar batang dan tahun 2016 sebesar 350,03 miliar batang.
“Tetapi terjadi penurunan sebesar 3,5 persen dalam lima tahun terakhir atas jumlah pekerja sektor manufaktur rokok dan pada perkebunan tembakau turun sebesar 4,7 persen,” ungkapnya.
Menurut dia, pangsa pasar IHT saat ini mulai berubah karena dipengaruhi gaya hidup masyarakat perokok yang memperhatikan kesehatannya dengan memilih rokok yang mengandung tar dan nikotin rendah, sehingga masyarakat perokok mengarah ke Sigaret Kretek Mesin (SKM), baik jenis reguler maupun mild.
Data pangsa pasar dari jenis rokok pada tahun 2016, untuk SKM sebesar 72,07 persen, Sigaret Kretek Tangan (SKT) sebesar 20,23 persen, dan Sigaret Putih Mesin (SPM) sebesar 5,43 persen. Sisanya, antara lain rokok Klobot dan Klembak menyan sebesar 2,27 persen.
Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian, Panggah Susanto, mengatakan, penyusunan aturan dan kebijakan soal tembakau harus sangat hati-hati karena berdampak pada hajat hidup orang banyak.
“Di bawah MPSI saja ada 40.800 pekerja, belum dari yang lain. Ini menyangkut perut sekian ribu orang dan keluarganya. Ini yang kadang-kadang pembahasannya tidak seimbang,” katanya.
Panggah menilai penerapan kuota harus realistis sesuai kebutuhan industri rokok dalam negeri. Impor tembakau tidak bisa langsung dihentikan jika pasokan bahan baku buat industri tidak terjamin.
Kebijakan yang diambil pemerintah seharusnya fokus meningkatkan produksi tembakau dalam negeri agar bisa memenuhi seluruh kebutuhan bahan baku industri rokok.
Sementara itu, Ketua Paguyuban MPSI, Djoko Wahyudi, berharap agar mitranya tidak mengalihkan produksinya ke mesin.
“Karena ada sisi yang perlu diperhatikan, yakni tenaga kerja,” ungkapnya. Dia pun memberikan apresiasi kepada Kemenperin selaku pembina industri yang terus memperhatikan keberadaan sektor SKT. “Terkait regulasi, memang perlu diatur agar dampak negatifnya tidak lebih dominan,” imbuhnya.
Paguyuban MPSI merupakan wadah yang terdiri dari 38 perusahaan produsen SKT yang bermitra dengan PT. Sampoerna di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Produksinya telah mencapai 15 miliar batang per tahun dengan mempekerjakan karyawan sebanyak 40.000 orang. MPSI tidak menutup kemungkinan untuk bermitra dengan perusahaan lain.
Wahyudi juga mengatakan, kalaupun industri rokok dalam negeri jatuh, tak berarti masyarakat akan berhenti merokok. Malah, Indonesia nantinya hanya menjadi pasar bagi rokok ilegal impor.
"Kalau rokok ilegal tanpa cukai itu dibuat dalam negeri masih mending. Tidak dapat cukai, tapi dapat tembakau dan tenaga kerja. Tapi kalau produksinya dari luar, kita tidak dapat pekerjaan dan cukai, bahkan kesehatan pun tidak dapat. Jadi rugi semua," sebutnya.
Menurut Djoko, Indonesia selama ini kerap diincar sebagai pasar bagi produsen rokok ilegal dari berbagai negara.
“Kami mendukung penuh pembatasan impor tembakau asal pemerintah mendorong produksi dalam negeri dan membatasinya secara bertahap,” ujarnya.
Pewarta: Try Essra
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2017
Tags: