Hakim tolak kakak angkat Ahok menjadi saksi
7 Maret 2017 13:56 WIB
Terdakwa kasus dugaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama berjalan memasuki ruang sidang di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (7/3/2017). Sidang ke-13 itu beragenda mendengarkan keterangan saksi-saksi yang meringankan terdakwa. (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)
Jakarta (ANTARA News) - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menolak Analta Amier, kakak angkat Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), bersaksi dalam sidang lanjutan kasus penodaan agama di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa.
Setelah mendengar keberatan tim jaksa mengenai saksi yang diajukan tim penasihat hukum Ahok dan mengonfirmasinya ke Analta Amier, Ketua Majelis Hakim Dwiarso Budi Santiarto menyatakan bahwa Analta Amier tidak bisa diperiksa di persidangan hari ini.
"Jadi, menurut majelis, karena yang bersangkutan sudah mendengarkan saksi-saksi sebelumnya, jadi saksi ini tidak bisa diperiksa. Saya kira nanti penasihat hukum bisa ajukan saksi di luar berkas yang kira-kira mempunyai pengetahuan sama dengan saksi ini. Bisa digantikan dengan saksi lain," kata Dwiarso.
Ketua Tim Jaksa Penuntut Umum Ali Mukartono menyampaikan keberatan Analta Amier dihadirkan sebagai saksi karena yang bersangkutan sebelumnya pernah hadir di dalam ruangan persidangan dengan agenda pemeriksaan saksi.
"Karena yang bersangkutan pernah hadir di dalam ruangan persidangan, maka yang bersangkutan mengerti apa yang disampaikan dalam persidangan. Kapasitas saksi tidak dapat diterima, dari pada nanti cacat hukum," katanya.
Namun dia menyatakan tidak akan mempermasalahkan kalau yang bersangkutan hadir dalam sidang yang agendanya bukan pemeriksaan saksi.
"Kami tak tahu Beliau namanya Analta Amier. Baru tahu sekarang. Dikatakan penasihat hukum tidak berhubungan dengan pemeriksaan saksi ketika ada persidangan di Jalan Gajah Mada. Tetapi anggota kami ada beberapa kali melihat saat pemeriksaan saksi di sini," kata Ali.
Ketua Majelis Hakim Dwiarso kemudian mengonfirmasi informasi itu ke Analta Amier. Dwiarso bertanya apakah Analta pernah menyaksikan persidangan di dalam ruang sidang.
"Di sini cuma sekali Pak," jawab Analta.
"Artinya Saudara pernah ikut persidangan?" tanya Hakim Dwiarso.
"Iya betul," kata Analta.
"Jadi sesuai dengan keterangan saksi, saksi ini sendiri pernah ada di ruang sidang saat saksi lain diperiksa. Jadi, bukan hanya persidangan di Jalan Gajah Mada tetapi juga persidangan di sini," kata Dwiarso.
Ahok didakwa menggunakan Pasal 156a dan Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana karena mengutip Alquran Sural Al Maidah 51 dan menyebut adanya pihak yang menggunakannya untuk membohongi pihak lain saat melakukan kunjungan kerja di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016.
Menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.
Sementara menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Setelah mendengar keberatan tim jaksa mengenai saksi yang diajukan tim penasihat hukum Ahok dan mengonfirmasinya ke Analta Amier, Ketua Majelis Hakim Dwiarso Budi Santiarto menyatakan bahwa Analta Amier tidak bisa diperiksa di persidangan hari ini.
"Jadi, menurut majelis, karena yang bersangkutan sudah mendengarkan saksi-saksi sebelumnya, jadi saksi ini tidak bisa diperiksa. Saya kira nanti penasihat hukum bisa ajukan saksi di luar berkas yang kira-kira mempunyai pengetahuan sama dengan saksi ini. Bisa digantikan dengan saksi lain," kata Dwiarso.
Ketua Tim Jaksa Penuntut Umum Ali Mukartono menyampaikan keberatan Analta Amier dihadirkan sebagai saksi karena yang bersangkutan sebelumnya pernah hadir di dalam ruangan persidangan dengan agenda pemeriksaan saksi.
"Karena yang bersangkutan pernah hadir di dalam ruangan persidangan, maka yang bersangkutan mengerti apa yang disampaikan dalam persidangan. Kapasitas saksi tidak dapat diterima, dari pada nanti cacat hukum," katanya.
Namun dia menyatakan tidak akan mempermasalahkan kalau yang bersangkutan hadir dalam sidang yang agendanya bukan pemeriksaan saksi.
"Kami tak tahu Beliau namanya Analta Amier. Baru tahu sekarang. Dikatakan penasihat hukum tidak berhubungan dengan pemeriksaan saksi ketika ada persidangan di Jalan Gajah Mada. Tetapi anggota kami ada beberapa kali melihat saat pemeriksaan saksi di sini," kata Ali.
Ketua Majelis Hakim Dwiarso kemudian mengonfirmasi informasi itu ke Analta Amier. Dwiarso bertanya apakah Analta pernah menyaksikan persidangan di dalam ruang sidang.
"Di sini cuma sekali Pak," jawab Analta.
"Artinya Saudara pernah ikut persidangan?" tanya Hakim Dwiarso.
"Iya betul," kata Analta.
"Jadi sesuai dengan keterangan saksi, saksi ini sendiri pernah ada di ruang sidang saat saksi lain diperiksa. Jadi, bukan hanya persidangan di Jalan Gajah Mada tetapi juga persidangan di sini," kata Dwiarso.
Ahok didakwa menggunakan Pasal 156a dan Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana karena mengutip Alquran Sural Al Maidah 51 dan menyebut adanya pihak yang menggunakannya untuk membohongi pihak lain saat melakukan kunjungan kerja di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016.
Menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.
Sementara menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017
Tags: