Revisi pertumbuhan ekonomi Tiongkok berdampak terhadap ekspor komoditas
6 Maret 2017 17:30 WIB
Ekspor Kelapa Sawit. Buruh menurunkan tandan buah sawit (TBS) dari mobil truk di Pelabuhan Rakyat Lalosalo, Desa Sei Pancang, Kecamatan Sebatik Utara, Nunukan, Kaltara, Minggu (29/3/2015). Ribuan ton TBS setiap pekan terpaksa diekspor ke Tawau, Malaysia diangkut menggunakan kapal kayu akibat belum adanya pabrik CPO (crude palm oil) di wilayah itu. (ANTARA FOTO/M Rusman)
Jakarta (ANTARA News) - Revisi pertumbuhan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sebesar 6,5 persen pada 2017 dinilai memberi dampak pada kinerja ekspor Indonesia ke Negeri Tirai Bambu tersebut.
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan (Kemendag) Iman Pambagyo di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi Asosiasi Negara Lingkar Samudera Hindia (KTT IORA) mengatakan bahwa dampak dari revisi pertumbuhan ekonomi Tiongkok tersebut akan menyebabkan ekspor Indonesia menurun.
"Dampak tentu ada, Tiongkok dalam beberapa tahun terakhir merupakan negara tujuan ekspor Indonesia. Dampak langsung ke Indonesia ekspor akan menurun seperti batu bara dan beberapa komoditas yang diolah seperti CPO," kata Iman, di Jakarta, Senin.
Pemerintah Tiongkok merevisi target pertumbuhan ekonomi menjadi sekitar 6,5 persen untuk tahun 2017. Hal tersebut diumumkan oleh Perdana Menteri Li Keqiang. Pada 2016, pemerintah Negeri Panda tersebut mematok target pertumbuhan ekonomi tahun 2017 pada kisaran 6,7 hingga 7 persen.
Tercatat, total perdagangan antara Indonesia dengan Tiongkok mencapai 47,58 miliar dolar Amerika Serikat pada 2016. Impor Indonesia mencapai 30,80 miliar dolar AS, sementara ekspor 16,78 miliar dolar AS.
Dengan demikian, neraca perdagangan Indonesia dengan negara mitra dagang mengalami defisit mencapai 14,01 miliar dolar AS di tahun tersebut.
Menurut Iman, meski pemerintah Tiongkok merevisi target pertumbuhan ekonomi tersebut, masih ada peluang bagi Indonesia untuk memanfaatkan pasar yang ada. Pemerintah Tiongkok menginginkan adanya peningkatan konsumsi domestik yang bisa menjadi peluang ekspor bagi Indonesia.
Hal senada juga dikatakan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong, bahwa negara tersebut memang mengalami banyak perubahan dari yang dulunya merupakan industri berat dan mengimpor bahan mentah, saat ini lebih ke sektor jasa dan konsumsi.
"Konsumsi bisa ada peluang seperti sektor pariwisata. Tiongkok merupakan sumber wisatawan mancanegara bagi Indonesia," kata Thomas yang kerap disapa Tom tersebut.
Namun, revisi target pertumbuhan ekonomi itu, menurut Tom, bukan merupakan hal yang mengejutkan dan terbilang masih cukup tinggi. Menurutnya, dengan pertumbuhan 6,5 persen dan ekonomi Tiongkok mencapai 11,5 triliun dolar AS, maka pertumbuhan tersebut masuk kategori tinggi.
"Sepuluh tahun lalu, ekonomi Tiongkok hanya tiga triliun dolar AS per tahun dan pertumbuhan 12 persen. Sekarang jauh lebih tinggi, jadi meskipun tingkat pertumbuhan turun separuh, ukuran ekonominya sudah naik empat kali lipat," kata Tom.
Pemerintah Tiongkok menargetkan pertumbuhan ekonomi 2017 menjadi 6,5 persen. Angka itu lebih rendah dari realisasi laju ekonomi tahun lalu sebesar 6,7 persen dan terendah dalam 25 tahun terakhir. Pemerintah Negeri Tirai Bambu tersebut menyuntikkan sejumlah stimulus untuk mempertahankan laju ekonominya.
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan (Kemendag) Iman Pambagyo di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi Asosiasi Negara Lingkar Samudera Hindia (KTT IORA) mengatakan bahwa dampak dari revisi pertumbuhan ekonomi Tiongkok tersebut akan menyebabkan ekspor Indonesia menurun.
"Dampak tentu ada, Tiongkok dalam beberapa tahun terakhir merupakan negara tujuan ekspor Indonesia. Dampak langsung ke Indonesia ekspor akan menurun seperti batu bara dan beberapa komoditas yang diolah seperti CPO," kata Iman, di Jakarta, Senin.
Pemerintah Tiongkok merevisi target pertumbuhan ekonomi menjadi sekitar 6,5 persen untuk tahun 2017. Hal tersebut diumumkan oleh Perdana Menteri Li Keqiang. Pada 2016, pemerintah Negeri Panda tersebut mematok target pertumbuhan ekonomi tahun 2017 pada kisaran 6,7 hingga 7 persen.
Tercatat, total perdagangan antara Indonesia dengan Tiongkok mencapai 47,58 miliar dolar Amerika Serikat pada 2016. Impor Indonesia mencapai 30,80 miliar dolar AS, sementara ekspor 16,78 miliar dolar AS.
Dengan demikian, neraca perdagangan Indonesia dengan negara mitra dagang mengalami defisit mencapai 14,01 miliar dolar AS di tahun tersebut.
Menurut Iman, meski pemerintah Tiongkok merevisi target pertumbuhan ekonomi tersebut, masih ada peluang bagi Indonesia untuk memanfaatkan pasar yang ada. Pemerintah Tiongkok menginginkan adanya peningkatan konsumsi domestik yang bisa menjadi peluang ekspor bagi Indonesia.
Hal senada juga dikatakan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong, bahwa negara tersebut memang mengalami banyak perubahan dari yang dulunya merupakan industri berat dan mengimpor bahan mentah, saat ini lebih ke sektor jasa dan konsumsi.
"Konsumsi bisa ada peluang seperti sektor pariwisata. Tiongkok merupakan sumber wisatawan mancanegara bagi Indonesia," kata Thomas yang kerap disapa Tom tersebut.
Namun, revisi target pertumbuhan ekonomi itu, menurut Tom, bukan merupakan hal yang mengejutkan dan terbilang masih cukup tinggi. Menurutnya, dengan pertumbuhan 6,5 persen dan ekonomi Tiongkok mencapai 11,5 triliun dolar AS, maka pertumbuhan tersebut masuk kategori tinggi.
"Sepuluh tahun lalu, ekonomi Tiongkok hanya tiga triliun dolar AS per tahun dan pertumbuhan 12 persen. Sekarang jauh lebih tinggi, jadi meskipun tingkat pertumbuhan turun separuh, ukuran ekonominya sudah naik empat kali lipat," kata Tom.
Pemerintah Tiongkok menargetkan pertumbuhan ekonomi 2017 menjadi 6,5 persen. Angka itu lebih rendah dari realisasi laju ekonomi tahun lalu sebesar 6,7 persen dan terendah dalam 25 tahun terakhir. Pemerintah Negeri Tirai Bambu tersebut menyuntikkan sejumlah stimulus untuk mempertahankan laju ekonominya.
Pewarta: Vicki Febrianto
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017
Tags: