Pengamat: Pemerintah-PT Freeport Indonesia jangan saling egois
24 Februari 2017 11:36 WIB
Dokumentasi President dan CEO Freeport-McMoRan Inc, Richard C Adkerson, saat menyampaikan keterangan dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (20/2/2017). Freeport McMoran Inc menolak mengakhiri kontrak karya dengan pemerintah namun masih membuka pintu untuk bernegosiasi terkait dengan izin operasi dan persetujuan ekspor konsentrat. Pemerintah menyilakan mereka membawa hal ini ke Mahkamah Arbitrase Internasional. (ANTARA FOTO/Akbar Gumay)
Jakarta (ANTARA News) - Pengamat komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing, menilai, perbedaan pandangan yang semakin meruncing antara pemerintah dan Freeport lebih disebabkan egoisme dari masing-masing pihak.
"Masing-masing pihak tampaknya menilai keberadaanya dari perspektif posisinya sehingga merasa lebih benar dari yang lain," ujar Sihombing, di Jakarta, Jumat.
Ia mengatakan komunikasi ketulusan tampaknya semakin tergerus sehingga berpotensi menimbulkan saling ketidakpercayaan di antara pihak-pihak, baik semata komponen di dalam negeri atau melibatkan pihak mancanegara.
Ia mengatakan, ego sektoral antara pemerintah dengan PT Freeport Indonesia --sengaja atau tidak-- telah menimbulkan jurang komunikasi yang semakin jauh. Bahkan hal ini bisa menjadi bola liar yang semakin sulit menemukan solusi koperatif. Karena itu, secepatnya harus dihentikan egoisme sepihak itu.
Ditambah lagi dengan penyebarluasan informasi melalui media sosial yang semakin cepat membentuk persepsi dan opini bagi publik, yang langsung terlibat ataupun tidak demikian.
"Buka keran komunikasi koperatif, bisa melalui mediator, dengan meletakkan semua persoalan di atas meja," ujar dia.
Untuk itu, lanjutnya, harus dibangun komunikasi introspektif antar para pihak, baik dari pemerintah maupun dari PT Freeport Indonesia dengan penuh ketulusan. Dengan demikian, solusi kooperatif dapat disepakati para pihak.
Pada satu sisi, issue tentang tambang tembaga dan emas di Papua itu bisa menebalkan semangat nasionalisme warga, sebagaimana pernah terjadi saat issue Ambalat merebak dan menggejala ke mana-mana. Issue Ambalat saat itu mengalahkan berbagai issue lain yang sebetulnya sama-sama penting untuk dicermati.
Pendapat tentang rasa nasionalisme anak bangsa ini juga dinyatakan ahli hukum internasional, Hikmahanto Juwana.
Di sana, warga Indonesia --terkhusus putera daerah Papua-- banyak yang menggantungkan nafkahnya di berbagai perusahaan subkontraktor, kontraktor, hingga ke manajemen PT Freeport Indonesia.
Gelombang PHK dan merumahkan karyawan juga sudah terjadi di sana, paling tidak lebih dari 1.000 karyawan tetap dan kontrak mengalami hal itu.
Pada sisi lain, pemerintah ingin menegakkan kedaulatan ekonomi nasional dengan artikulasi yang lebih jelas dan tegas. Ada tiga opsi yang menurut pemerintah bisa ditempuh untuk menyelesaikan hal ini.
"Masing-masing pihak tampaknya menilai keberadaanya dari perspektif posisinya sehingga merasa lebih benar dari yang lain," ujar Sihombing, di Jakarta, Jumat.
Ia mengatakan komunikasi ketulusan tampaknya semakin tergerus sehingga berpotensi menimbulkan saling ketidakpercayaan di antara pihak-pihak, baik semata komponen di dalam negeri atau melibatkan pihak mancanegara.
Ia mengatakan, ego sektoral antara pemerintah dengan PT Freeport Indonesia --sengaja atau tidak-- telah menimbulkan jurang komunikasi yang semakin jauh. Bahkan hal ini bisa menjadi bola liar yang semakin sulit menemukan solusi koperatif. Karena itu, secepatnya harus dihentikan egoisme sepihak itu.
Ditambah lagi dengan penyebarluasan informasi melalui media sosial yang semakin cepat membentuk persepsi dan opini bagi publik, yang langsung terlibat ataupun tidak demikian.
"Buka keran komunikasi koperatif, bisa melalui mediator, dengan meletakkan semua persoalan di atas meja," ujar dia.
Untuk itu, lanjutnya, harus dibangun komunikasi introspektif antar para pihak, baik dari pemerintah maupun dari PT Freeport Indonesia dengan penuh ketulusan. Dengan demikian, solusi kooperatif dapat disepakati para pihak.
Pada satu sisi, issue tentang tambang tembaga dan emas di Papua itu bisa menebalkan semangat nasionalisme warga, sebagaimana pernah terjadi saat issue Ambalat merebak dan menggejala ke mana-mana. Issue Ambalat saat itu mengalahkan berbagai issue lain yang sebetulnya sama-sama penting untuk dicermati.
Pendapat tentang rasa nasionalisme anak bangsa ini juga dinyatakan ahli hukum internasional, Hikmahanto Juwana.
Di sana, warga Indonesia --terkhusus putera daerah Papua-- banyak yang menggantungkan nafkahnya di berbagai perusahaan subkontraktor, kontraktor, hingga ke manajemen PT Freeport Indonesia.
Gelombang PHK dan merumahkan karyawan juga sudah terjadi di sana, paling tidak lebih dari 1.000 karyawan tetap dan kontrak mengalami hal itu.
Pada sisi lain, pemerintah ingin menegakkan kedaulatan ekonomi nasional dengan artikulasi yang lebih jelas dan tegas. Ada tiga opsi yang menurut pemerintah bisa ditempuh untuk menyelesaikan hal ini.
Pewarta: Aziz Kurmala
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2017
Tags: