Perbankan Indonesia dinilai terlalu hati-hati berekspansi
22 Februari 2017 18:05 WIB
ilustrasi: Chairman CT Corp Chairul Tanjung (kanan) didampingi Dirut Bank Mega Kostaman Thayib (kiri) berjalan bersama Peraih Nobel bidang Ekonomi Robert Fry Engle III usai forum diskusi Bank Mega Intellectual Series, di Jakarta, Selasa (21/2/2017). Pada forum yang dihadiri para nasabah Bank Mega, pengamat ekonomi dan pelaku dunia usaha tersebut, ilmuwan Robert Fry Engle III membawakan makalah dengan tema "The Prospect for Global Financial Stability". (ANTARA FOTO/Audy Alwi)
Jakarta (ANTARA News) - Peraih nobel ekonomi pada 2003 Profesor Robert F. Engle menilai perbankan Indonesia terlalu berhati-hati untuk berekspansi menyalurkan kredit ke masyarakat, padahal kapasitas permodalan perbankan mencukupi.
Engle, dalam kuliah umumnya, di Jakarta, Rabu, mengatakan sikap kehati-hatian perbankan di Indonesia merupakan sisi lain dari fakta bahwa kapasitas permodalan bank di Indonesia cukup kuat.
Sisi positifnya, kata Engle, dengan permodalan yang kuat, perbankan Indonesia tidak terlalu rentan menghadapi potensi krisis ekonomi.
"Adalah berita yang bagus, namun mengandung berita yang buruk pula, artinya bantalan (modal) yang substansi itu sangat aman, tapi terlalu hati-hati dan terlalu aman, ketakutan untuk membuat pinjaman yang diperlukan untuk stimulus ekonomi," kata Engle di Univeristas Atmajaya, Jakarta.
Dalam kuliah umum tersebut, turut hadir Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara, dan Deputi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian Iskandar Simorangkir.
Engle menuturkan bahwa dari ratusan institusi sektor keuangan di Indonesia, beberapa di antaranya memilik risiko yang kecil terdampak krisis keuangan.
Beberapa institusi keuangan yang memiliki risiko kecil itu diharapkan dapat menyalurkan kredit lebih ekspansif, karena memiliki modal yang kuat dengan dukunga perolehan laba.
"Sejumlah bank milik negara juga memiliki modal yang lebih dari cukup," ujar dia.
Berdasarkan data Bank Indonesia, pertumbuhan kredit perbankan Indonesia pada 2016 hanya tumbuh 7,8 persen (year on year), atau melemah dibandingkan 2015 yang sebesar 10 persen.
Engle menggambarkan Asia Tenggara termasuk Indonesia merupakan negara dengan ketahanan ekonomi yang lebih kuat dibanding negara-negara "emerging markets" lainnya.
Risiko terhadap perbankan, kata dia, menyebar ke seluruh dunia.
"Regulasi perbankan harus disiapkan untuk mencegah, bukan hanya menangani," ujar dia.
Dalam paparannya, Engle juga mengingatkan bahwa dinamika pasar keuangan global akan semakin meningkat, karena Presiden Amerika Serikat terpilih Donald Trump ingin mengurangi standar regulasi internasional untuk kesehatan perbankan.
Di sisi lain, rencana Trump tersebut bisa berdampak positif bagi kapitalisasi perbankan di pasar saham, karena investor melihat bank akan lebih ekspansif meraup pendapatan bunga mengingat syarat permodalan berpotensi akan dikurangi.
(I029/C004)
Engle, dalam kuliah umumnya, di Jakarta, Rabu, mengatakan sikap kehati-hatian perbankan di Indonesia merupakan sisi lain dari fakta bahwa kapasitas permodalan bank di Indonesia cukup kuat.
Sisi positifnya, kata Engle, dengan permodalan yang kuat, perbankan Indonesia tidak terlalu rentan menghadapi potensi krisis ekonomi.
"Adalah berita yang bagus, namun mengandung berita yang buruk pula, artinya bantalan (modal) yang substansi itu sangat aman, tapi terlalu hati-hati dan terlalu aman, ketakutan untuk membuat pinjaman yang diperlukan untuk stimulus ekonomi," kata Engle di Univeristas Atmajaya, Jakarta.
Dalam kuliah umum tersebut, turut hadir Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara, dan Deputi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian Iskandar Simorangkir.
Engle menuturkan bahwa dari ratusan institusi sektor keuangan di Indonesia, beberapa di antaranya memilik risiko yang kecil terdampak krisis keuangan.
Beberapa institusi keuangan yang memiliki risiko kecil itu diharapkan dapat menyalurkan kredit lebih ekspansif, karena memiliki modal yang kuat dengan dukunga perolehan laba.
"Sejumlah bank milik negara juga memiliki modal yang lebih dari cukup," ujar dia.
Berdasarkan data Bank Indonesia, pertumbuhan kredit perbankan Indonesia pada 2016 hanya tumbuh 7,8 persen (year on year), atau melemah dibandingkan 2015 yang sebesar 10 persen.
Engle menggambarkan Asia Tenggara termasuk Indonesia merupakan negara dengan ketahanan ekonomi yang lebih kuat dibanding negara-negara "emerging markets" lainnya.
Risiko terhadap perbankan, kata dia, menyebar ke seluruh dunia.
"Regulasi perbankan harus disiapkan untuk mencegah, bukan hanya menangani," ujar dia.
Dalam paparannya, Engle juga mengingatkan bahwa dinamika pasar keuangan global akan semakin meningkat, karena Presiden Amerika Serikat terpilih Donald Trump ingin mengurangi standar regulasi internasional untuk kesehatan perbankan.
Di sisi lain, rencana Trump tersebut bisa berdampak positif bagi kapitalisasi perbankan di pasar saham, karena investor melihat bank akan lebih ekspansif meraup pendapatan bunga mengingat syarat permodalan berpotensi akan dikurangi.
(I029/C004)
Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017
Tags: