Hong Kong (ANTARA News) - Kematian misterius Kim Jong-nam telah mengalihkan perhatian internasional kepada putranya, Kim Han-sol, yang lewat sebuah wawancara video mengungkapkan masa kecilnya yang terasing, harapannya suatu hari nanti kembali ke negaranya dan cita-cita mewujudkan reunifikasi Korea.

Menurut juru bicara kementerian unifikasi Korea Selatan Jeong Joon-hee, tempat persembunyian Kim Han-sol tetap tak diketahui setelah ayahnya yang merupakan kakak tiri pemimpin Korea Utara Kim Jong-un dibunuh di Kuala Lumpur, Senin pekan lalu.

Chosun Ilbo, surat kabar Korea Selatan, mengunjungi dua bangunan di Macau di mana sebuah keluarga yang terdiri dari Kim Han-sol, adik perempuannya Kim Sol-hui dan ibundanya Lee Hye-Kyong, diyakini tinggal di sana. Namun koran ini tak berhasil menemui siapa pun.

Pihak berwajib Macau menegaskan Rabu pekan lalu bahwa pihaknya "akan melakukan apa saja untuk memastikan keamanan dan hak-hak warga dan tamu Macau."

Menurut dinas intelijen Korea Selatan, keluarga itu tinggal di bawah perlindungan China. Istri pertama mendiang Kim Jong-nam, beserta seorang putranya, tinggal di Beijing.

Kim Han-sol adalah anak muda stylish yang menyukai busana hitam, rambut dicat oranye, suka anting-anting dan kacamata gelap. Kesimpulan ini didapat berdasarkan foto-foto dalam sebuah akun Facebook yang diyakini milik Kim Han-sol.

Dia pertama kali menarik perhatian media massa pada 2011 ketika saat berusia 16 tahun visa mahasiswanya ditolak pemerintah Hong Kong setelah dia diterima di kampus Li Po Chun United World College di Hong Kong.

Stephen Codrington, bekas kepala sekolah di Hong Kong yang pernah mewawancarainya, melukiskan sang remaja sebagai "anak yang menyenangkan, sangat cerdas, karismatis" dengan "Bahasa Inggris yang fasih" dan idealis, tulis Sunday Morning Post.

Lahir pada 1995, Kim Han-sol menghabiskan beberapa tahun di Pyongyang sebelum pindah ke Macau, kendati dia mengaku pulang kampung setiap musim panas untuk mengunjungi kerabat dan "selalu menjaga hubungan dengan keluarga", kata dia kepada Elisabeth Rehn, mantan wakil sekjen PBB dari Finlandia yang membuat wawancara video dengan pemuda itu pada 2011.

Dalam bahasa Inggris yang fasih, Kim mengatakan masa kecilnya "sangat terisoloasi agar bisa tetap low profile", dan ini pula alasan mengapa dia tidak punya banyak teman di Korea Utara.

Namun di luar Korea Utara, semisal Macau, Kim mengaku bangga menjadi bagian dari komunitas internasional yang membuatnya bisa bertemu dengan orang-orang Amerika Serikat dan Korea Utara yang adalah dua musuh utama Pyongyang.

"Kami pada akhirnya berbalik menjadi sahabat dan itu kian memicu rasa ingin tahu yang semakin dalam," kata dia menggambarkan mengapa dia mendaftarkan diri di United World College di Mostar, Bosnia-Herzegovina.

Dia adalah bagian dari sebuah program yang mengharuskan belajar kimia, fisika, matematika atau ekonomi diantarkan dalam Bahasa Inggris, bersama dengan murid-murid lain yang berusia antara 16 sampai 18 tahun.

Dalam wawancara video itu, Kim menjadi terlihat percaya diri dan semakin senang ketika perbincangan beralih ke kehidupan barunya di sekolah dan teman-temannya dari Libya dan Korea Selatan, kendati dia mengaku perhatian media membuatnya tidak nyaman.

Dia mengatakan proses aplikasi visanya untuk mengikuti sekolah di Mostar dibekukan setelah media massa Korea Selatan memberitakannya.

Media massa terus memburunya setelah dia tiba di sekolah itu. "Untuk pertama kalinya, saya seperti menghadapi tekanan, lampu kamera terus menyorot, awalnya itu tidak nyaman."

Dia juga bicara blak-blakan mengenai harapannya bahwa reunifikasi Korea akhirnya terwujud. "Saya bermimpi suatu hari nanti saya pulang dan memperbaiki segalanya, membuat hidup lebih mudah untuk rakyat di sana. Saya juga memimpikan reunifikasi karena saya sedih sekali tidak bisa pergi ke bagian lain (Korea Selatan) dan menemui teman-teman saya di sana."

Ketika ditanya mengapa pamannya yang terpilih sebagai pemimpin Korea Utara, dia menjawab, "Ayah saya sama sekali tidak tertarik pada politik. Saya sama sekali tak tahu bagaimana bisa (paman saya) menjadi diktator. Itu antara dia dan kakek saya."

Pada Desember 2013, Kim Han-sol kembali menjadi sorotan media ketika muncul laporan bahwa dia berada dalam perlindungan polisi Prancis selama tahun pertamanya di kampus Le Havre di Prancis, setelah Kim Jong-un memerintahan pembunuhan pamannya sendiri, Jang Sung-taek.

Jang diyakini sebagai pemimpin de facto setelah kakaknya yang juga ayah Kim Jong-un, Kim Jong-il menjadi sakit-sakitan dan akhirnya meninggal dunia. Peran Jang kemudian digantikan Kim Jong-un. Jang disebut-sebut dekat sekali dengan Kim Jong-nam.

Kim pernah menjadi bagian dari program sarjana muda Eropa-Asia yang kuliahnya fokus membahas hubungan Eropa dan Asia. Menurut koran Korea Selatan Dong-A Ilbo, Kim sudah masuk diterima Universitas Oxford di Inggris, tetapi tidak mendaftar.

Sumber: South China Morning Post