Kecenderungan selera wisatawan ke Bali berubah
20 Februari 2017 14:44 WIB
Situasi kepadatan fasilitas wisata yang terpantau dari udara di kawasan Kuta, Bali, Jumat (19/2). Kamar Dagang dan Industri Indonesia mendesak moratorium pembangunan akomodasi pariwisata di kawasan Bali selatan yang dicetuskan pemerintah Provinsi Bali sejak 2010, segera dioptimalkan hingga 10 tahun mendatang. (ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana)
Denpasar (ANTARA News) - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Bali mengajak para pengusaha di daerah itu tidak tergiur membangun city hotel atau hotel dengan konsep perkotaan, di tengah pergeseran selera wisatawan.
"Ada penurunan okupansi pada 2016 rata-rata delapan persen di hotel berbintang, tetapi peningkatan empat persen di homestay dan vila," kata Ketua PHRI Bali, Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati, di Denpasar, Senin.
Menurut dia, dari data itu, ada kecenderungan wisatawan tinggal di homestay karena ada pergeseran tren kunjungan wisatawan dari pariwisata berbasis layanan (services based tourism) menuju pariwisata berbasis pengetahuan (knowledge based tourism) karena mereka bisa berinteraksi dengan masyarakat lokal.
Pria yang akrab dipanggil Cok Ace itu menambahkan, pergeseran selera itu juga telah berdasarkan hasil penelitian dari Universitas Indonesia dan Kementerian Pariwisata. Pergeseran sudah terjadi sejak 2000-an dan sebenarnya itulah kekuatan Bali yang sedari awal menganggap budaya sebagai daya tarik.
Namun, persoalannya masyarakat dinilai tidak sabar. Seperti halnya pengusaha dan masyarakat di Ubud, Kabupaten Gianyar yang memiliki banyak homestay.
"Para pengusaha homestay di sana justru tergiur dengan kemajuan city hotel. Mereka meminjam ke bank menambah kamar di homestay-nya menjadi 30 sampai 40 kamar. Mereka sudah keluar dari kemampuan yang mereka miliki, ini sangat bahaya sekali," ujar Cok Ace.
Oleh karena itu PHRI Bali tidak henti-hentinya memberikan penjelasan, biar pun punya enam kamar, kalau terisi semua itu pemasukannya sekitar Rp36 juta perbulan. Lebih bagus punya enam hingga 10 kamar, tetapi riil daripada 60 kamar bersaing sama hotel-hotel bintang satu dan dua.
Di sisi lain, Cok Ace melihat dari aspek atraksi juga demikian karena ada kecenderungan pelaku pariwisata selalu memenuhi kebutuhan pasar. Hal ini juga berbahaya menurut dia, kendati saat berbicara budaya sebagai daya tarik Bali sebetulnya ada persoalan dengan kualitas tujuan wisata atau objek-objek wisata.
"Kita bisa lihat Kintamani, Ubud dengan kemacetannya. Dari bandar udara, dari Nusa Dua, orang ke Ubud perlu waktu dua jam. Ke Lombok hanya perlu 30 menit. Mereka mendingan ke Labuan Bajo atau ke Gili. Ini persoalan-persoalan, jadi wisatawan lebih senang untuk putar-putar di daerah Badung dan Denpasar saja, sehingga lama tinggal 3,5 hari dari data BPS turun ke 3,1 hari," kata dia.
Cok Ace mengharapkan pemerintah juga harus menyelesaikan persoalan zonasi yang kini sangat kacau. Bagaimana mungkin hotel bintang 5 bertetangga dengan hotel bintang 1 dan 2.
Sebelum akhir dasawarsa 90-an, pemerintah mengatur hanya kawasan Nusa Dua dan Sanur yang memiliki hotel-hotel berbintang lima dan jaringan internasional. Namun sejalan waktu, aturan zonasi itu hancur, dimulai dari Kuta di Kabupaten Badung, yang mengoleksi banyak sekali hotel berbintang lima di tepi Pantai Kuta.
Bali juga banyak dikeluhkan atas kemacetan parah yang kerap terjadi; salah satu sebabnya Bali tidak memiliki sistem transportasi massal yang mumpuni, mudah diakses, terpadu, nyaman, serta handal sepanjang waktu.
"Hotel yang luas lahannya 10 Hektare dengan kamar 100 atau 150 akhirnya bersaing dengan hotel seluas 40 are tetapi memiliki 200 kamar. Sangat tidak adil, sama saja kita membuka ruang pamer yang menjual mobil-mobil mewah, sekonyong-konyong di sampingnya ada mobil-mobil murah," ujarnya.
"Ada penurunan okupansi pada 2016 rata-rata delapan persen di hotel berbintang, tetapi peningkatan empat persen di homestay dan vila," kata Ketua PHRI Bali, Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati, di Denpasar, Senin.
Menurut dia, dari data itu, ada kecenderungan wisatawan tinggal di homestay karena ada pergeseran tren kunjungan wisatawan dari pariwisata berbasis layanan (services based tourism) menuju pariwisata berbasis pengetahuan (knowledge based tourism) karena mereka bisa berinteraksi dengan masyarakat lokal.
Pria yang akrab dipanggil Cok Ace itu menambahkan, pergeseran selera itu juga telah berdasarkan hasil penelitian dari Universitas Indonesia dan Kementerian Pariwisata. Pergeseran sudah terjadi sejak 2000-an dan sebenarnya itulah kekuatan Bali yang sedari awal menganggap budaya sebagai daya tarik.
Namun, persoalannya masyarakat dinilai tidak sabar. Seperti halnya pengusaha dan masyarakat di Ubud, Kabupaten Gianyar yang memiliki banyak homestay.
"Para pengusaha homestay di sana justru tergiur dengan kemajuan city hotel. Mereka meminjam ke bank menambah kamar di homestay-nya menjadi 30 sampai 40 kamar. Mereka sudah keluar dari kemampuan yang mereka miliki, ini sangat bahaya sekali," ujar Cok Ace.
Oleh karena itu PHRI Bali tidak henti-hentinya memberikan penjelasan, biar pun punya enam kamar, kalau terisi semua itu pemasukannya sekitar Rp36 juta perbulan. Lebih bagus punya enam hingga 10 kamar, tetapi riil daripada 60 kamar bersaing sama hotel-hotel bintang satu dan dua.
Di sisi lain, Cok Ace melihat dari aspek atraksi juga demikian karena ada kecenderungan pelaku pariwisata selalu memenuhi kebutuhan pasar. Hal ini juga berbahaya menurut dia, kendati saat berbicara budaya sebagai daya tarik Bali sebetulnya ada persoalan dengan kualitas tujuan wisata atau objek-objek wisata.
"Kita bisa lihat Kintamani, Ubud dengan kemacetannya. Dari bandar udara, dari Nusa Dua, orang ke Ubud perlu waktu dua jam. Ke Lombok hanya perlu 30 menit. Mereka mendingan ke Labuan Bajo atau ke Gili. Ini persoalan-persoalan, jadi wisatawan lebih senang untuk putar-putar di daerah Badung dan Denpasar saja, sehingga lama tinggal 3,5 hari dari data BPS turun ke 3,1 hari," kata dia.
Cok Ace mengharapkan pemerintah juga harus menyelesaikan persoalan zonasi yang kini sangat kacau. Bagaimana mungkin hotel bintang 5 bertetangga dengan hotel bintang 1 dan 2.
Sebelum akhir dasawarsa 90-an, pemerintah mengatur hanya kawasan Nusa Dua dan Sanur yang memiliki hotel-hotel berbintang lima dan jaringan internasional. Namun sejalan waktu, aturan zonasi itu hancur, dimulai dari Kuta di Kabupaten Badung, yang mengoleksi banyak sekali hotel berbintang lima di tepi Pantai Kuta.
Bali juga banyak dikeluhkan atas kemacetan parah yang kerap terjadi; salah satu sebabnya Bali tidak memiliki sistem transportasi massal yang mumpuni, mudah diakses, terpadu, nyaman, serta handal sepanjang waktu.
"Hotel yang luas lahannya 10 Hektare dengan kamar 100 atau 150 akhirnya bersaing dengan hotel seluas 40 are tetapi memiliki 200 kamar. Sangat tidak adil, sama saja kita membuka ruang pamer yang menjual mobil-mobil mewah, sekonyong-konyong di sampingnya ada mobil-mobil murah," ujarnya.
Pewarta: Ni Luh Rhismawati
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2017
Tags: