Palangka Raya (ANTARA News) - Aktivitas pembalakkan liar di kawasan Taman Nasional (TN) Sebangau, Kalimantan Tengah selama bertahun-tahun diperkirakan telah menyebabkan kerugian negara senilai triliunan rupiah. "Kami pastikan mencapai triliunan rupiah, karena yang terdata saja sejak tahun 2001 hingga 2003 telah mencapai Rp428 miliar hanya akibat ulah para pembalak liar itu," kata Analis Keuangan Lembaga Penelitian Kehutanan Dunia (Centre for International Forestry Research/CIFOR) Dr Bambang Setiono, di Palangka Raya, Rabu. Penelitian CIFOR terhadap kawasan lindung itu memperkirakan aktifitas pembalakkan liar telah muncul dan marak sejak tahun 1996 dan baru terungkap 10 tahun kemudian saat penemuan satu juta potong kayu tak bertuan di wilayah itu. Menurut Bambang, pada kurun waktu 2001-2003 telah terjadi deforestasi hutan Sebangau seluas 19.436 hektar atau rata-rata hutan Sebangau hilang seluas 6.500 hektar per tahun. "Dengan asumsi produktitas hutan alam adalah 22 meter kubik kayu, maka jumlah kayu yang ditebang dalam periode tiga tahun itu mencapai 427.592 meter kubik atau sekitar 3,5 juta potong kayu," ungkapnya. Meski kegiatan illegal itu telah merugikan negara dalam skala besar, Bambang mengakui, hingga kini baik aparat penegak hukum maupun kehutanan setempat tidak berkutik dan tidak mampu menangkap aktor dibalik kejahatan kehutanan itu. "Selain tidak tahu prosedur, aparat juga mungkin tidak serius menangani kasus-kasus illegal logging," jelasnya. Bambang menyoroti pula kasus penemuan kayu Sebangau sejuta potong pada Juni 2006 yang juga lepas dari perhatian aparat penegak hukum karena tidak ada tindak lanjutnya hingga kini. Ia menilai, para penyidik Kepolisian tidak akan dapat mengungkap ataupun membuktikan para pelaku bila masih menggunakan metode-metode penyelidikan lama yaitu berorientasi kayu sebagai barang bukti. "Dari kayu sampai ke cukongnya itu jauh sekali, saya pastikan UU Kehutanan pun sulit membuktikannya. Harusnya mereka menggunakan analisis ekonomi bahwa ada kehilangan kayu dan itu pastinya melibatkan industri kehutanan yang dalam operasionalnya membutuhkan kayu," jelasnya. Ia merujuk pada data BKSDA Kalteng tahun 2005 yang menyebutkan ada 102 perusahaan industri primer hasil hutan kayu (IPHHK) skala kecil kurang 6.000 meter kubik dengan total kapasitas 225.950 meter kubik yang beroperasi secara aktif. "Bila bahan baku kayu itu legal sesuai rencana pemenuhan bahan baku kayu industri maka harusnya industri itu hanya beroperasi antara tiga-empat bulan. Tetapi kok selama setahun tetap beroperasi. Industri kayu itu lah yang sebenarnya harus dikejar," tambahnya. Hal itulah yang menurutnya menyebabkan 10 orang cukong Sebangau --sesuai daftar nama yang dikantongi Polda Kalteng-- masih lolos hingga kini. (*)