Sydney (ANTARA News) - Perdana Menteri (PM) Australia Malcolm Turnbull mungkin bakal menerima risiko jangka pendek atau pecundang jangka panjang pasca-panggilan telepon kecaman dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump soal kebijakan pengungsi, demikian pendapat aktivis hak asasi manusia (HAM) di Sydney, Jumat (3/2).
Kelemahan dalam jajak pendapat dan kerentanan mendapat serangan dari dalam partai konservatifnya, Turnbull setidak-tidaknya mendapat pujian media domestik atas sikap kenegarawanannya menolak menjelaskan percakapan telepon Trump yang memarahinya atas kesepakatan dengan AS dalam isu pengungsi.
"Donald Mencaci dan Anda Mabuk", demikian judul di halaman muka media di Australia.
"Pendekatan PM dibenarkan oleh kegilaan Trump," itulah komentar seorang pengamat di koran Sydney Morning Herald.
Trump akan mempertahankan rencana kesepakatan antara Turnbull dan mantan Presiden AS Barack Obama pada bulan November 2016. Namun, Trump dikabarkan marah sambil menyebut kebijakan kebodohan, dan para pencari suaka akan menjadi sasaran pemeriksaan ekstra ketat.
Pada Jumat, dalam upaya memperbaiki hubungan, Trump menulis di Twitternya, "Terima kasih Perdana Menteri Australia atas penyampaian kepercayaan terhadap percakapan yang sangat santun itu merupakan berita palsu di media. Sangat bagus!"
Berdasarkan kesepakatan itu, AS akan menempatkan sekitar 1.250 pencari suaka yang ditahan di pusat pemprosesan di Australia di pulau terpencil di Pasifik, di Papua Nugini dan Nauru.
Sebagai imbalannya, Australia akan menempatkan para pengungsi dari El Salvador, Guatemala dan Honduras.
Beberapa upaya penempatan para pencari suaka di Kamboja dan Malaysia dalam beberapa tahun terakhir telah menuai kegagalan bagi Australia, dan Turnbull menjelaskan kegagalan kesepakatan dengan AS tersebut sebagai solusi bagi para pencari suaka yang juga pedoman bagi kebijakan ketat mereka.
"Dia sedang meletakkan kredibilitas atas pernyataan semua akan berakhir dengan kebahagiaan melalui kesepakatan ini," kata pakar sosiologi dari Australian National University, Rick Kuhn, kepada Reuters melalui telepon.
Ia menimpali, "Jika kegagalan menukar para pengungsi, maka kemudian menjadi bencana mutlak baginya."
Berita yang lebih buruk bagi Turnbull juga menimbulkan ketakutan di antara pengacara dan pendamping pengungsi bahwa pemeriksaan ekstra ketat oleh Trump secara efektif akan mengusir sebagian besar pencari suaka di Pulau Nauru dan Pulau Manus.
Dalam perintah eksekutif yang ditandatangani sepekan yang lalu, Trump menangguhkan program pengungsian AS selama 120 hari dan menghentikan kunjungan dari tujuh negara berpenduduk mayoritas muslim, yakni Iran, Irak, Libya, Somalia, Sudan, Suriah dan Yaman selama 90 hari.
Para pejabat imigrasi AS telah menunda wawancara dengan para pencari suaka di Nauru, demikian kata sejumlah pencari suaka dan pejabat, setelah ada indikasi Washington sudah menghentikan proses permohonan sesuai kesepakatan tersebut.
"Pemeriksaan ekstra ketat pada saat ini menjadi sebuah pernyataan yang memiliki tujuan dan tidak satupun optimistis," kata Daniel Webb selaku Direktur Advokasi pada Pusat Hukum Hak Asasi Manusia (HAM).
Ia menimpali, "Kesepakatan itu mungkin layak bagi beberapa orang, tetapi meninggalkan banyak orang di belakang."
Turnbull, yang hasil jajak pendapatnya menurun drastis sejak dia menggulingkan mantan PM Tony Abbott dalam kudeta di tubuh partai dan kemudian memimpin koalisi untuk memenangi pemilu tahun lalu tidak meyakinkan, agaknya memiliki sedikit pilihan lain.
Kesepakatannya dengan Kamboja dan Malaysia menuai kegagalan karena hanya dua pengungsi yang ditempatkan di Kamboja dengan biaya 40 juta dolar Australia (sekitar Rp403 miliar) dan Mahkamah Agung Australia membatalkan rencana pertukaran pengungsi dengan Malaysia, sedangkan pembicaraan dengan Kanada sejauh ini belum dilakukan.
Australia juga telah mencemooh tawaran lama dari Selandia Baru untuk menerima 150 pencari suaka karena takut aksesnya ke negara tetangga itu akan menjadi pintu rahasia ke Australia.
Semua menyebabkan Turnbull memiliki sedikit pilihan, namun untuk berdamai dengan Trump yang mememarahinya menjadikan dia sebagai salah satu dari beberapa pemimpin dunia yang menolak untuk mengomentari perintah eksekutif Trump soal imigrasi, demikian laporan Reuters.
PM Australia hadapi risiko pasca-kecaman Trump soal pengungsi
4 Februari 2017 04:41 WIB
Malcolm Turnbull. (afr.com)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2017
Tags: