Jakarta (ANTARA News) - Nahdlatul Ulama selama ini tetap konsisten menjadi penengah dalam konstelasi kehidupan berbangsa, kata Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU), KH Said Aqil Siroj.

"Betapa menjadi penengah bukan tugas yang mudah, namun menjadi pengabdian para kiai NU," kata dia, dalam peringatan Hari Lahir Ke-91 NU, di Jakarta, Selasa malam.

Menurut dia sikap tersebut bagian dari komitmen NU untuk terus menjaga keutuhan Indonesia. Komitmen itu merupakan prinsip kebangsaan yang diwariskan para pendiri NU.

Menurut dia, NU merasa wajib mempertahankan kesatuan Indonesia karena NU terlibat aktif membidani kemerdekaan Indonesia melalui BPUPKI dan PPKI pada 1945, menyerukan resolusi jihad 22 Oktober 1945 yang mewajibkan mengangkat senjata mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

NU berdiri terdepan melawan PKI pada 1965 dan menyelamatkan Pancasila. Pada era Orde Baru NU menjadi ormas yang pertama kali menerima Pancasila sebagai asas tunggal. NU pun terlibat aktif melahirkan era reformasi.

NU menolak radikalisme agama dan sentimen SARA yang kini mengancam keutuhan NKRI. Puluhan juta warga NU istiqomah membentengi Indonesia dari ekstremisme kiri maupun ekstremisme kanan.

NU pula, kata dia, yang menjadi payung besar toleransi beragama di Indonesia tetap tegak. NU di dalam melakukan dakwah menggunakan cara santun, menekankan kesabaran, kepasrahan, dan kejernihan batin, tetapi sekaligus semangat menghadapi masa depan.

"Para kiai NU selalu menganjurkan untuk damai, jangan suka bertengkar. Inilah yang dilakukan para kiai kampung, para kiai NU selama ini," kata dia.

NU yang genap berusia 91 tahun pada 31 Januari 2017, kata dua, tidak pernah sekalipun melakukan bughat atau makar terhadap Pancasila dan NKRI.

"Inilah Nahdlatul Ulama, meski dirundung, difitnah, dan dicaci tetap berdiri membela NKRI," kata dia.

Sejumlah tokoh nasional hadir dalam acara itu, antara lain Ketua MPR, Zulkifli Hasan, Ketua DPR, Setya Novanto, Panglima TNI, Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, Kepala Kepolisian Indonesia, Jenderal Polisi Tito Karnavian, dan sejumlah menteri Kabinet Kerja.