Jakarta (ANTARA News) - Sebanyak enam kegiatan usaha penukaran valuta asing (KUPVA) bukan bank atau money changer terindikasi dijadikan perantara penyaluran dana untuk bisnis penyalahgunaan narkoba dengan nilai hampir Rp4 triliun, kata pejabat Badan Narkotika Nasional.

Direktur Tindak Pidana Pencucian Uang BNN Brigadir Jenderal Pol Rokhmad Sunanto di Kantor Bank Indonesia, Senin mengatakan dari enam KUPVA tersebut, empat usaha tidak memiliki izin, sedangkan dua usaha lainnya menyalahgunakan izin dari BI.

"Terakhir yang kita temukan nilai dana dari satu KUPVA terakhir Rp3,6 triliun, sisanya masing-masing puluhan miliar," ujar dia.

KUPVA yang terindikasi menjadi tempat penukaran dana Rp3,6 triliun untuk narkoba tersebut, kata dia, berlokasi di Jakarta.

"Yang satu yang terbesar itu nanti akan kami kasih tau infonya, tapi belum sekarang," ujarnya.

Sedangkan lima KUPVA lainnya berlokasi di beberapa daerah, seperti Medan, Sumatera Utara dan Batam.

Rokhmad menuturkan BNN sudah menindak enam KUPVA tersebut. Dari penyidikan sementara oleh BNN, enam KUPVA tersebut dijadikan lokasi pertukaran dana hasil bisnis narkoba. Kemudian dana hasil pertukaran tersebut ditransfer ke rekening di luar negeri melalui perbankan.

"Maka dari itu OJK juga harus bertindak karena ada keterlibatan perbankan. KUPVA tersebut kami lihat jadi penampungan," tambahnya.

Rokhmad menerangkan terdapat beberapa modus bisnis narkorba yang melibatkan KUPVA. Modus yang paling sering digunakan adalah melibatkan KUPVA tidak berizin, yang tidak memberikan laporan kepada BI.

"KUPVA yang tidak berizin ini juga dimanfaatkan oleh KUPVA yang beirizin. KUPVA tidak berizin ini jadi perantara. Modusnya KUPVA dijadikan tempat penampungan dana. Pengedar narkoba juga biasanya menggunakan identitas palsu dan dokumen palsu," ujar dia.

Rokhmad meminta BI untuk menertibkan KUPVA tidak berizin. Berdasarkan data BI, terdapat 612 KUPVA tidak berizin, dan 1064 KUPVA berizin.

"KUPVA tidak berizin paling banyak di DKI Jakarta dan sekitarnya, Lhokseumawe, Kalimantan Timur dan Kediri," kata Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran Eni V. Panggabean.