Anggaran Jakarta dinilai tidak cukup atasi kebutuhan
25 Januari 2017 18:03 WIB
ilustrasi: Optimisme Pertumbuhan Ekonomi Suasana deretan gedung bertingkat di Jakarta, Selasa (29/3/16). (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan) ()
Jakarta (ANTARA News) - Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta tak akan cukup untuk mengatasi pembiayaan kebutuhan kota seperti berbagai proyek strategis dan persoalan kota termasuk infrastruktur, kata Pakar Tata Kota Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna.
Oleh karenanya, katanya, saat dihubungi di Jakarta, Rabu, pemerintah daerah perlu menggandeng pihak swasta untuk mempercepat proses pembangunan.
Menurut Yayat, keterlibatan swasta dalam berbagai program pemerintah bisa dilakukan melalui berbagai cara yakni pertama, program tanggung jawab sosial (corporate social responsibility/CSR).
Ia memberi contoh pembinaan pedagang kecil yang bekerja sama dengan program pemberdayaan dari perusahaan.
Kedua, penggunaan Peraturan Gubernur Nomor 119 Tahun 2016 yang di dalamnya mengatur pola kompensasi atau kontribusi terkait pengaturan insentif ketinggian bangunan.
Dengan kontribusi itu, swasta bisa berperan membangun infrastruktur, jalan, rumah susun, membeli bus, fasilitas taman, dan lainnya.
Contoh terbaru, kata dia, adalah pembangunan fasilitas publik seperti ruang publik terpadu ramah anak (RPTRA) Kalijodo dan jembatan di Semanggi.
"Yang terpenting semua pemanfaatan terintegrasi dalam rencana kerja pemerintah dan transparan sehingga terpercaya," kata Yayat.
Program CSR juga, tegasnya, seharusnya menjadi bagian strategi pengembangan jaringan ekonomi dan sistem produksi.
Berdasarkan data Pemerintah Jakarta, 64 persen anggaran DKI Jakarta 2017 sudah terbagi untuk keperluan di luar belanja modal.
Rinciannya, belanja tidak langsung yang di dalamnya terdapat belanja pegawai, bunga, subsidi, hibah dan bantuan sosial mencapai Rp27,6 triliun di 2017.
Sementara belanja barang dan jasa tercatat Rp20,4 triliun, hanya terpaut tipis dari belanja modal.
Dikutip dari laman www.jakarta.go.id, jumlah APBD Jakarta tahun 2017 mencapai Rp68,6 triliun, naik tipis dibandingkan tahun 2016 sebesar Rp67,2 triliun.
Dana yang dialokasikan untuk belanja modal tercatat Rp24,7 triliun atau 36 persen dari total anggaran 2017.
Jumlah belanja modal ini memang lebih tinggi dibanding tahun lalu sebesar Rp16,2 triliun.
Namun, kenaikan jumlah belanja modal ini belum mampu menutup kebutuhan pembangunan fisik dan penyelesaian berbagai persoalan sosial DKI Jakarta yang jumlahnya jauh lebih besar.
Pakar lainnya mengatakan pola kerja sama pemerintah daerah dan swasta yang saling menguntungkan juga dapat dilakukan dalam mengembangkan kawasan pertumbuhan baru.
Pakar dari Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri Institut Teknologi Bandung, Hernawan Mahfudz, memberi contoh di Jakarta Utara melalui pengembangan kawasan baru melalui reklamasi 17 pulau yang disinergikan dengan tanggul raksasa (giant sea wall).
Dia tegaskan juga bahwa pengembangan kawasan baru di Teluk Jakarta yang melibatkan swasta akan memangkas kesenjangan antara wilayah selatan dan utara.
"Kondisi ini sama dengan apa yang terjadi dengan Provinsi Banten yang memiliki kesenjangan antara Tangerang Selatan dan Tangerang Utara," kata Hernawan.
Selama ini kondisi ekonomi dan sosial antara wilayah selatan dan utara Tangerang sangat timpang.
Karenanya, pengembangan kawasan baru di bagian utara Tangerang diharapkan akan mendorong kehidupan ekonomi dan sosial di wilayah tersebut.
"Begitu pula dengan Jakarta. Sementara berbagai persoalan ekonomi, lingkungan, dan sosial terus bermunculan seiring peningkatan jumlah penduduk di ibu kota," kata Hernawan.
Oleh karenanya, katanya, saat dihubungi di Jakarta, Rabu, pemerintah daerah perlu menggandeng pihak swasta untuk mempercepat proses pembangunan.
Menurut Yayat, keterlibatan swasta dalam berbagai program pemerintah bisa dilakukan melalui berbagai cara yakni pertama, program tanggung jawab sosial (corporate social responsibility/CSR).
Ia memberi contoh pembinaan pedagang kecil yang bekerja sama dengan program pemberdayaan dari perusahaan.
Kedua, penggunaan Peraturan Gubernur Nomor 119 Tahun 2016 yang di dalamnya mengatur pola kompensasi atau kontribusi terkait pengaturan insentif ketinggian bangunan.
Dengan kontribusi itu, swasta bisa berperan membangun infrastruktur, jalan, rumah susun, membeli bus, fasilitas taman, dan lainnya.
Contoh terbaru, kata dia, adalah pembangunan fasilitas publik seperti ruang publik terpadu ramah anak (RPTRA) Kalijodo dan jembatan di Semanggi.
"Yang terpenting semua pemanfaatan terintegrasi dalam rencana kerja pemerintah dan transparan sehingga terpercaya," kata Yayat.
Program CSR juga, tegasnya, seharusnya menjadi bagian strategi pengembangan jaringan ekonomi dan sistem produksi.
Berdasarkan data Pemerintah Jakarta, 64 persen anggaran DKI Jakarta 2017 sudah terbagi untuk keperluan di luar belanja modal.
Rinciannya, belanja tidak langsung yang di dalamnya terdapat belanja pegawai, bunga, subsidi, hibah dan bantuan sosial mencapai Rp27,6 triliun di 2017.
Sementara belanja barang dan jasa tercatat Rp20,4 triliun, hanya terpaut tipis dari belanja modal.
Dikutip dari laman www.jakarta.go.id, jumlah APBD Jakarta tahun 2017 mencapai Rp68,6 triliun, naik tipis dibandingkan tahun 2016 sebesar Rp67,2 triliun.
Dana yang dialokasikan untuk belanja modal tercatat Rp24,7 triliun atau 36 persen dari total anggaran 2017.
Jumlah belanja modal ini memang lebih tinggi dibanding tahun lalu sebesar Rp16,2 triliun.
Namun, kenaikan jumlah belanja modal ini belum mampu menutup kebutuhan pembangunan fisik dan penyelesaian berbagai persoalan sosial DKI Jakarta yang jumlahnya jauh lebih besar.
Pakar lainnya mengatakan pola kerja sama pemerintah daerah dan swasta yang saling menguntungkan juga dapat dilakukan dalam mengembangkan kawasan pertumbuhan baru.
Pakar dari Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri Institut Teknologi Bandung, Hernawan Mahfudz, memberi contoh di Jakarta Utara melalui pengembangan kawasan baru melalui reklamasi 17 pulau yang disinergikan dengan tanggul raksasa (giant sea wall).
Dia tegaskan juga bahwa pengembangan kawasan baru di Teluk Jakarta yang melibatkan swasta akan memangkas kesenjangan antara wilayah selatan dan utara.
"Kondisi ini sama dengan apa yang terjadi dengan Provinsi Banten yang memiliki kesenjangan antara Tangerang Selatan dan Tangerang Utara," kata Hernawan.
Selama ini kondisi ekonomi dan sosial antara wilayah selatan dan utara Tangerang sangat timpang.
Karenanya, pengembangan kawasan baru di bagian utara Tangerang diharapkan akan mendorong kehidupan ekonomi dan sosial di wilayah tersebut.
"Begitu pula dengan Jakarta. Sementara berbagai persoalan ekonomi, lingkungan, dan sosial terus bermunculan seiring peningkatan jumlah penduduk di ibu kota," kata Hernawan.
Pewarta: Edy Sujatmiko
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017
Tags: