Pengacara Ahok curigai rekayasa politik dalam persidangan
24 Januari 2017 23:11 WIB
Sidang Lanjutan Basuki Tjahaja Purnama Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok memasuki ruang sidang untuk menjalani sidang lanjutan kasus dugaan penistaan agama di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (24/1/2017). Sidang ketujuh tersebut masih mengagendakan mendengarkan keterangan lima saksi dari pihak Jaksa Penuntut Umum. (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)
Jakarta (ANTARA News) - Trimoelja D Soerjadi, angggota tim kuasa hukum Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mencurigai adanya rekayasa politik dalam sidang kasus penodaan agama yang tengah dijalani kliennya tersebut.
"Ini seperti sudah di-setting karena kalau kami kaitkan dengan saksi-saksi pelapor terdahulu yang pernah diperiksa saat mereka mengatakan tidak mengenal tetapi ada beberapa jawaban yang persis sampai titik komanya sama," kata Trimoelja di sela-sela sidang lanjutan Ahok di gedung Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa.
Bahkan, kata Trimoelja, perkara yang sedang dijalani Ahok saat ini mengingatkan dirinya pada zaman Orde Baru dengan terjadinya perkara subversi.
"Perkara subversi adalah perkara politik yang dibungkus kasus hukum dan perkara Ahok juga begini kasus politik yang dibungkus perkara penodaan agama. Jadi, nuansa politik dalam perkara ini sangat kental dan tujuannya untuk menggagalkan Ahok di Pilkada DKI Jakarta," ujarnya.
Ahok dikenakan dakwaan alternatif yakni Pasal 156a dengan ancaman 5 tahun penjara dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman 4 tahun penjara.
Menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak Rp4.500.
Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.
Sementara menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
"Ini seperti sudah di-setting karena kalau kami kaitkan dengan saksi-saksi pelapor terdahulu yang pernah diperiksa saat mereka mengatakan tidak mengenal tetapi ada beberapa jawaban yang persis sampai titik komanya sama," kata Trimoelja di sela-sela sidang lanjutan Ahok di gedung Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa.
Bahkan, kata Trimoelja, perkara yang sedang dijalani Ahok saat ini mengingatkan dirinya pada zaman Orde Baru dengan terjadinya perkara subversi.
"Perkara subversi adalah perkara politik yang dibungkus kasus hukum dan perkara Ahok juga begini kasus politik yang dibungkus perkara penodaan agama. Jadi, nuansa politik dalam perkara ini sangat kental dan tujuannya untuk menggagalkan Ahok di Pilkada DKI Jakarta," ujarnya.
Ahok dikenakan dakwaan alternatif yakni Pasal 156a dengan ancaman 5 tahun penjara dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman 4 tahun penjara.
Menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak Rp4.500.
Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.
Sementara menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017
Tags: