Kuasa hukum: saksi fakta untungkan Ahok
24 Januari 2017 23:05 WIB
Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok (ketiga kiri) didampingi kuasa hukumnya memberikan keterangan kepada media usai menjalani sidang lanjutan kasus dugaan penistaan agama di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (24/1/2017). Ahok beserta kuasa hukumnya menyatakan keberatan terhadap kesaksian sejumlah saksi yang tidak kredibel selama persidangan yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) serta, adanya politisasi dalam perkara kasus tersebut. (ANTARA/Muhammad Adimaja)
Jakarta (ANTARA News) - Anggota tim kuasa hukum Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Trimoelja D Soerjadi menyebutkan saksi fakta yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum dalam sidang Ahok justru menguntungkan kliennya.
"Lurah Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, Yuli Hardi menyatakan masyarakat menerima Ahok dengan baik sehingga memberikan sukun goreng yang artinya menyambut Ahok dengan baik di Kepulauan Seribu," kata Trimoelja seusai sidang lanjutan Ahok di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa malam.
Selanjutnya, kata Trimoelja, Lurah Yuli Hardi juga mengatakan bahwa 99 persen warga di sana beragama Islam dan tidak ada yang protes setelah Ahok berpidato.
"Bahkan tidak ada warga di Kepulauan Seribu yang melapor (Ahok), ini kan menarik," ucap Trimoelja.
Sementara terkait penyebutan Surat Al-Maidah ayat 51 di tengah-tengah pidato Ahok itu, ia menyatakan tidak ada kesengajaan dari kliennya itu untuk menghina Al-Quran.
"Makanya nanti dalam pembelaan, dijelaskan bahwa "mindset" Pak Ahok waktu itu karena dia punya pengalaman pahit di (Pilkada) Bangka Belitung ketika lawan politiknya menggunakan Surat Al-Maidah ayat 51 untuk tidak memilih pemimpin yang non-muslim," ucap Trimoelja.
Sidang ketujuh Ahok menghadirkan empat saksi dari pihak JPU masing-masing dua saksi fakta dan dua saksi pelapor.
Saksi-saksi fakta itu, yakni Lurah Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, Yuli Hardi dan Nurkholis Majid, pegawai tidak tetap Dinas Komunikasi, Informasi, dan Kehumasan Pemprov DKI Jakarta yang merekam pidato Ahok.
Selanjutnya dua saksi pelapor, yaitu Muhammad Asroi Saputra dan Iman Sudirman.
Ahok dikenakan dakwaan alternatif yakni Pasal 156a dengan ancaman 5 tahun penjara dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman 4 tahun penjara.
Menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.
Sementara menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
"Lurah Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, Yuli Hardi menyatakan masyarakat menerima Ahok dengan baik sehingga memberikan sukun goreng yang artinya menyambut Ahok dengan baik di Kepulauan Seribu," kata Trimoelja seusai sidang lanjutan Ahok di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa malam.
Selanjutnya, kata Trimoelja, Lurah Yuli Hardi juga mengatakan bahwa 99 persen warga di sana beragama Islam dan tidak ada yang protes setelah Ahok berpidato.
"Bahkan tidak ada warga di Kepulauan Seribu yang melapor (Ahok), ini kan menarik," ucap Trimoelja.
Sementara terkait penyebutan Surat Al-Maidah ayat 51 di tengah-tengah pidato Ahok itu, ia menyatakan tidak ada kesengajaan dari kliennya itu untuk menghina Al-Quran.
"Makanya nanti dalam pembelaan, dijelaskan bahwa "mindset" Pak Ahok waktu itu karena dia punya pengalaman pahit di (Pilkada) Bangka Belitung ketika lawan politiknya menggunakan Surat Al-Maidah ayat 51 untuk tidak memilih pemimpin yang non-muslim," ucap Trimoelja.
Sidang ketujuh Ahok menghadirkan empat saksi dari pihak JPU masing-masing dua saksi fakta dan dua saksi pelapor.
Saksi-saksi fakta itu, yakni Lurah Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, Yuli Hardi dan Nurkholis Majid, pegawai tidak tetap Dinas Komunikasi, Informasi, dan Kehumasan Pemprov DKI Jakarta yang merekam pidato Ahok.
Selanjutnya dua saksi pelapor, yaitu Muhammad Asroi Saputra dan Iman Sudirman.
Ahok dikenakan dakwaan alternatif yakni Pasal 156a dengan ancaman 5 tahun penjara dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman 4 tahun penjara.
Menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.
Sementara menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017
Tags: