Indonesia akan lanjutkan diplomasi senyap
Direktur Utama LKBN Antara Meidyatama Suryodiningrat (kanan) berjabat tangan dengan Founder The Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Dino Patti Djalal (kiri), Direktur Eksekutif Centre for Strategic International Studies (CSIS) Phillips J Vermonte (kedua kiri), Co-Founder Paramadina Graduate School of Diplomacy Dinna Wisnu (tengah) dan Sekretaris Deputi Sekretariat Wapres Bidang Politik Dewi Fortuna Anwar (kedua kanan) usai menjadi pembicara dalam diskusi di Jakarta, Selasa (24/1). Diskusi itu membahas review dan proyeksi kebijakan luar negeri Indonesia tahun 2017. (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/ama/17)
"Kita harus mampu memainkan diplomasi yang lebih senyap atau di belakang layar karena dalam beberapa hal sensitif kalau kita terlalu banyak bicara nanti bisa gagal," kata Dewi dalam forum "Indonesian Foreign Policy: Review and Outlook 2017" di Auditorium Adhiyana, Wisma Antara, Selasa.
Menurut dia, diplomasi senyap sesuai dengan gaya pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang lebih mengutamakan bekerja tanpa harus banyak bicara, yang salah satunya tampak dari kunjungan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi ke Myanmar beberapa saat lalu untuk memberikan bantuan kemanusiaan dan melakukan beberapa pertemuan demi membantu penyelesaian konflik di Provinsi Rakhine.
Diplomasi senyap ini juga ditunjukkan lewat kebiasaan Presiden Jokowi yang lebih menyukai pertemuan-pertemuan bilateral daripada tampil untuk bicara dalam forum internasional, seperti yang dilakukan oleh Presiden Indonesia ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono.
"Dalam kampanyenya pun Presiden Jokowi sudah menegaskan bahwa kebijakan luar negerinya akan lebih Indonesia first, artinya bahwa berbagai pengaruh asing harus membawa manfaat bagi kepentingan rakyat Indonesia khususnya dalam bidang ekonomi yang memang menjadi perhatian utama Presiden," tutur pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu.
Di sisi lain, kehadiran Presiden Joko Widodo di 16 pertemuan internasional selama 2016 juga menunjukkan bahwa peran Indonesia dalam bidang diplomasi tidak bisa diabaikan.
Dewi berpendapat ada kalanya Indonesia harus menunjukkan sikap dengan bicara keras untuk menanggapi konflik tidak berkesudahan terutama di Timur Tengah atau penyelesaian konflik dengan menggunakan kekerasan seperti di Laut China Selatan.
"Dalam beberapa isu yang mengancam stabilitas regional dan global Indonesia harus menunjukkan kemauan untuk berdiri dan menyatakan pendapat secara lebih lantang," ungkap Dewi.
Sependapat dengan Dewi, jurnalis senior Meidyatama Suryodiningrat melihat pentingnya peran Indonesia sebagai negara berpenduduk terbesar keempat dunia, termasuk lima besar produsen batu bara, pengekspor terbesar minyak sawit, serta dilalui jalur utama maritim dunia. Kepemimpinan Indonesia juga telah dikenal di ASEAN, G20, serta IORA.
Meskipun Presiden Jokowi tidak populer dengan diplomasinya, menurut Meidyatama, namun presiden dalam banyak cara terus menunjukkan esensi dasar dari kebijakan luar negeri yang bebas dan aktif.
"Presiden Jokowi menggunakan pendekatan yang sederhana, pragmatis, dan mudah diterapkan untuk mencapai kepentingan nasional, terlepas dari berbagai gejolak eksternal yang ada," kata Direktur Utama LKBN Antara itu.
Forum "Indonesian Foreign Policy: Review and Outlook 2017" diselenggarakan atas kerja sama dengan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) sebagai rangkaian perayaan Hari Ulang Tahun Ke-80 LKBN Antara.
Pewarta: Yashinta Difa
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2017