Lahan pembuangan sampah Bantargebang hambat perkembangan kawasan
17 Januari 2017 20:20 WIB
Dokumentasi--Truk sampah DKI Jakarta melintas di area Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat, Kamis (5/11). (ANTARA FOTO/Risky Andrianto)
Bekasi (ANTARA News) - Keberadaan lahan pembuangan sampah hingga ratusan hektare di Kecamatan Bantargebang, Kota Bekasi, Jawa Barat, disinyalir menghambat laju perkembangan kawasan setempat, kata Camat Bantargebang Asep Gunawan.
"Dari luas wilayah Kecamatan Bantargebang 1.843.890 hektare, sebagiannya didominasi kawasan pembuangan sampah yang berimplikasi pada menurunnya minat investasi di kawasan kami," katanya di Bekasi, Selasa.
Menurut dia, tempat pembuangan sampah itu di antaranya Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang milik DKI Jakarta seluas 110 hektare dan Tempat Pembuangan Akhir sampah Sumurbatu milik Pemkot Bekasi seluas 30 hektare lebih.
Kawasan yang berbatasan langsung dengan Cileungsi, Kabupaten Bogor itu tercatat sebagai wilayah dengan jumlah penduduk paling sedikit di Kota Bekasi, yakni berkisar 94 ribu jiwa yang tergabung dalam 25 ribu lebih kepala keluarga.
"Minat masyarakat untuk tinggal di Bantargebang memang sedikit bila dibandingkan 11 kecamatan lain di Kota Bekasi," katanya.
Situasi itu disinyalir turut mempengaruhi iklim investasi di wilayah yang terdiri atas empat kelurahan, yakni Kelurahan Bantargebang, Cikiwul, Ciketing Udik dan Sumurbatu.
"Nilai Jual Objek Pajak tanah di Bantargebang menduduki peringkat termurah dibanding kecamatan lain, ada yang hanya di kisaran Rp200 ribu per meter per segi," katanya.
Menurut dia, perkembangan kawasan itu terbilang lambat meskipun bertetangga dengan kawasan industri di Cileungsi.
"Idealnya bila suatu kawasan dekat dengan industri, biasanya kawasan itu maju pesat secara perekonomiannya," katanya.
Bahkan, kata Asep, dari sekitar 300 persuhaan yang berdomisili di Bantargebang, ada yang terpaksa gulung tikar akibat tidak mampu memenuhi besaran Upah Minimum Kota (UMK) 2017 sebesar Rp3,5 juta per bulan.
"Mayoritas adalah perusahaan garmen yang bangkrut karena tidak mampu penuhi UMK 2017. Mereka pindah ke kawasan Jawa Tengah karena bisa lebih murah ongkos produksinya," katanya.
Dikatakan Asep, besaran kompensasi bau sampah yang dialokasikan Pemprov DKI bagi warga di lingkungan TPST pada 2017 sebesar Rp500 per tiga bulan dianggap kurang sebanding dengan situasi yang terjadi saat ini.
"Kompensasi DKI saat ini belum ada apa-apanya dengan kondisi lingkungan di kita," katanya.
"Dari luas wilayah Kecamatan Bantargebang 1.843.890 hektare, sebagiannya didominasi kawasan pembuangan sampah yang berimplikasi pada menurunnya minat investasi di kawasan kami," katanya di Bekasi, Selasa.
Menurut dia, tempat pembuangan sampah itu di antaranya Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang milik DKI Jakarta seluas 110 hektare dan Tempat Pembuangan Akhir sampah Sumurbatu milik Pemkot Bekasi seluas 30 hektare lebih.
Kawasan yang berbatasan langsung dengan Cileungsi, Kabupaten Bogor itu tercatat sebagai wilayah dengan jumlah penduduk paling sedikit di Kota Bekasi, yakni berkisar 94 ribu jiwa yang tergabung dalam 25 ribu lebih kepala keluarga.
"Minat masyarakat untuk tinggal di Bantargebang memang sedikit bila dibandingkan 11 kecamatan lain di Kota Bekasi," katanya.
Situasi itu disinyalir turut mempengaruhi iklim investasi di wilayah yang terdiri atas empat kelurahan, yakni Kelurahan Bantargebang, Cikiwul, Ciketing Udik dan Sumurbatu.
"Nilai Jual Objek Pajak tanah di Bantargebang menduduki peringkat termurah dibanding kecamatan lain, ada yang hanya di kisaran Rp200 ribu per meter per segi," katanya.
Menurut dia, perkembangan kawasan itu terbilang lambat meskipun bertetangga dengan kawasan industri di Cileungsi.
"Idealnya bila suatu kawasan dekat dengan industri, biasanya kawasan itu maju pesat secara perekonomiannya," katanya.
Bahkan, kata Asep, dari sekitar 300 persuhaan yang berdomisili di Bantargebang, ada yang terpaksa gulung tikar akibat tidak mampu memenuhi besaran Upah Minimum Kota (UMK) 2017 sebesar Rp3,5 juta per bulan.
"Mayoritas adalah perusahaan garmen yang bangkrut karena tidak mampu penuhi UMK 2017. Mereka pindah ke kawasan Jawa Tengah karena bisa lebih murah ongkos produksinya," katanya.
Dikatakan Asep, besaran kompensasi bau sampah yang dialokasikan Pemprov DKI bagi warga di lingkungan TPST pada 2017 sebesar Rp500 per tiga bulan dianggap kurang sebanding dengan situasi yang terjadi saat ini.
"Kompensasi DKI saat ini belum ada apa-apanya dengan kondisi lingkungan di kita," katanya.
Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017
Tags: