Jakarta (ANTARA News) - Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo meminta Presiden Jokowi memperkuat unit siber di Kepolisian, Badan Intelijen Negara, dan Kementerian Pertahanan, untuk menangkal potensi serangan siber yang marak belakangan ini selain rencana pembentukan Badan Siber Nasional.

"Penguatan semua unit siber itu menjadi sangat penting untuk menangkal potensi serangan siber yang marak belakangan ini, termasuk serangan yang mengganggu aspek pertahanan dan keamanan nasional, serta serangan yang berpotensi merusak ketertiban umum," kata Bambang di Jakarta, Senin.

Dia mengatakan untuk merespons serangan siber dari mana pun, Indonesia saat ini sudah memiliki unit "Cyber Deffence" di Kementerian Pertahanan, "Cyber Intelligence di BIN, dan "Cyber Security" di Polri.

Menurut dia, karena tantangannya terus tereskalasi, penguatan unit-unit siber di Polri, BIN dan Kementerian Pertahanan itu perlu menjadi perhatian khusus dari Presiden Jokowi.

"Eskalasi tantangan itu bisa dilihat dari keberhasilan agen rahasia Rusia menjebol pertahanan siber Amerika Serikat (AS). Badan-badan intelijen AS seperti CIA dan FBI sudah membuat pengakuan terbuka bahwa jaringan agen rahasia Rusia berhasil membobol pertahanan mereka," ujarnya.

Politisi Partai Golkar itu mengatakan melalui serangan siber, Rusia mampu mengintervensi pemilihan Presiden AS, November 2016, dan sukses membantu kemenangan calon dari Partai Republik Donald Trump.

Dia mengatakan, pembobolan pertahanan siber AS oleh Rusia itu tidak hanya membuat malu CIA dan FBI, tetapi juga membangun rasa cemas di AS.

"Komunitas agen rahasia AS dalam FBI maupun CIA kini mencemaskan masa depan keamanan nasional negeri itu," katanya.

Dia menilai pengalaman buruk AS itu patut dijadikan pelajaran oleh pemerintah Indonesia, apalagi Indonesia tidak hanya rentan serangan siber, tetapi juga sudah punya pengalaman buruk oleh serangan intelijen asing.

Menurut dia, Presiden RI, Ibu negara, sejumlah menteri dan pejabat tinggi negara pernah menjadi target penyadapan oleh para agen rahasia Defence Signals Directorate Australia.

"Selama 15 hari sepanjang bulan Agustus 2009, intelijen Australia menyadap kegiatan Presiden RI melalui telepon genggam," ujarnya.

Bambang juga mengingatkan bahwa menjelang akhir 2010, Wikileaks mengaku memiliki tidak kurang dari 3.059 dokumen rahasia milik Pemerintah AS, informasi itu mencatat berbagai informasi tentang Indonesia.

Dia menilai dokumen itu adalah laporan diplomatik yang dikirim Kedutaan Besar (Kedubes) AS di Jakarta dan Konsulat Jenderal (Konjen) AS di Surabaya.

"Kini, potensi ancamannya tak lagi hanya berupa penyadapan atau pencurian dokumen. Ragam rahasia negara bisa dibobol dengan modus serangan siber," katanya.

Menurut Bambang, kasus serangan siber oleh agen rahasia Rusia ke AS patut dijadikan pelajaran untuk mengingatkan pentingnya Indonesia meningkatkan kewaspadaan agar tidak menjadi target serangan siber oleh intelijen dari negara lain.