Jakarta (ANTARA News) - Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menyoroti upaya pembangunan aparatur sipil negara (ASN) yang masih menghadapi banyak tantangan, di antaranya intervensi partai politik, komersialisasi jabatan, dan proses rekrutmen.

"Studi CSIS menunjukkan ternyata implementasi rekrutmen terbuka ada hambatan teknis, menjadi pemicu utama revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN," kata Deputi Direktur Eksekutif CSIS Medelina K. Hendytio dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu.

Undang-Undang 5/2014 menegaskan mengenai ASN sebagai profesi berbasis "merit system" yang menekankan rekrutmen dengan prinsip keterbukaan, kompetensi, dan netralitas.

Medelina menjelaskan hambatan terbesar implementasi rekrutmen terbuka berasal dari kondisi politik eksternal dan masih terdapat peluang terjadinya intervensi politik dan kekuasaan, misalnya menominasikan calon tertentu dan calon lain sebagai pendamping dan masih terjadi kasus koruptif.

Dia juga menjelaskan bahwa adanya isu pengangkatan pegawai honorer menunjukkan moratorium PNS yang telah dipikirkan sejak zaman pemerintahan Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono tidak berjalan lancar, khususnya di daerah.

Sementara itu, lanjut Medelina, Revisi UU ASN terkait usulan pembubaran Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), penghapusan rekrutmen terbuka, pengangkatan tenaga honorer tanpa tes akan berimplikasi pada beberapa hal, antara lain problem independensi pelaksanaan rekrutmen, problem kompetensi, dan gangguan upaya penyeimbangan kompetensi, kualifikasi, dan kinerja ASN antardaerah.

Dia berpendapat perlu dilakukan beberapa hal, di antaranya perbaikan model rekrutmen terbuka yang memperhatikan efisiensi dan efektivitas.

"Serta perlu ada perbandingan hasil rekrutmen terbuka dan rekrutmen internal berbasis teknologi," kata dia.

Sebagai informasi, menurut data Badan Kepegawaian Negara, terdapat sekitar 4,49 juta PNS per Desember 2015 dengan rata-rata usia 45 tahun.