DPR dorong Pansus tragedi Kapal Zahro
9 Januari 2017 18:31 WIB
ilustrasi: Pencarian Korban Kapal Terbakar Sejumlah kapal bergabung mencari korban Kapal Zahro Express yang terbakar di Perairan Teluk Jakarta, Senin (2/1/2017). Basarnas mengerahkan 15 penyelam serta sejumlah kapal dari tim gabungan untuk mencari 17 korban yang diduga masih hilang. (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A) ()
Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi V DPR RI Fathan Subchi akan mendorong pembentukan Panitia Khusus (Pansus) tragedi terbakarnya kapal wisata Zahro Express di pantai utara Jakarta pada awal 2017 ini.
"Saya mendorong terbentuknya pansus, karena ini akan menjadi solusi terbaik untuk pembenahan total sistem angkutan laut kita, " kata anggota DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini saat dihubungi di Jakarta, Senin.
Menurut dia kasus kebakaran kapal Zahro Express hanya sedikit dari banyak kasus angkutan penumpang laut di Indonesia.
"Bisa dibayangkan, untuk Pelabuhan Muara Angke yang dekat pusat kekuasaan saja seperti itu. Apalagi di pulau-pulau yang jauh dari Jakarta," katanya.
Ia menegaskan dalam kasus kapal Zuhro terbukti bahwa pengawasan pemerintah sangat lemah.
"Pada manives daftar penumpang di kapal itu mencatat 100 orang. Namun kenyataannya jumlah penumpang di kapal naas itu mencapai 180 orang," katanya.
Meskipun kapasitas kapal Zahro mampu mengangkut hingga 250 penumpang, katanya namun adanya perbedaan data tersebut membuktikan pengelola kapal tidak menjalankan Standar Operasional Prosedur (SOP) dengan baik.
Oleh karena itu, katanya tragedi kapal Zahro Express, menunjukkan lemahnya pengawasan dan diabaikannya faktor keselamatan sebagai hak esensial bagi setiap penumpang angkutan umum.
Akibatnya, kebakaran di kapal Zahro telah menyebabkan 23 orang meninggal dan belasan penumpang hilang.
Ia juga menilai Menteri Perhubungan harus bertanggungjawab terhadap kasus ini.
"Apalagi penanganan sesaat setelah terjadi bencana di kapal Zahro sangat lamban, sehingga banyak korban berjatuhan," tegasnya.
Meski begitu, Fathan menggarisbawahi bahwa secara regulasi sesungguhnya pengaturan angkutan laut sudah sangat ketat dan baik.
Selain diatur dalam UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, sistem angkutan laut juga mengacu pada Peraturan Menteri Perhubungan No.37 Tahun 2015 tentang Standar Pelayanan Penumpang Angkutan Laut.
Peraturan menteri tersebut telah mengatur standar keselamatan pelayaran yang di dalamnya meliputi aspek sumber daya manusia, sarana prasarana, standar operasional prosedur, lingkungan dan sanksi.
"Kelemahan paling mendasar kita adalah implementasi. Semua aturan telah dibuat dan celakanya itu banyak yang dilanggar. Akan sangat elegan jika Menhub Budi Karya bisa menjelaskannya dalam sebuah Pansus," katanya.
Sebelum kasus kapal Zuhro, kecelakaan juga terjadi pada kapal Rafelia II di Selat Bali.
Seperti kasus Zahro Express dalam kecelakaan ini ditemukan fakta data manives kapal berbeda dengan jumlah penumpang di dalam kapal.
Kemudian pada September 2016 sebuah kapal pengangkut wisawatan asing juga meledak di perairan Bali dan menewaskan dua turis asing.
"Kita berharap pada tahun 2017 ini kasus-kasus kecelakaan kapal tidak terjadi lagi. DPR akan mendorong terbentuknya Pansus agar penanganan dan pengawasan sistem angkutan laut kita terjamin keamanannya," demikian Fathan.
(E008/H007)
"Saya mendorong terbentuknya pansus, karena ini akan menjadi solusi terbaik untuk pembenahan total sistem angkutan laut kita, " kata anggota DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini saat dihubungi di Jakarta, Senin.
Menurut dia kasus kebakaran kapal Zahro Express hanya sedikit dari banyak kasus angkutan penumpang laut di Indonesia.
"Bisa dibayangkan, untuk Pelabuhan Muara Angke yang dekat pusat kekuasaan saja seperti itu. Apalagi di pulau-pulau yang jauh dari Jakarta," katanya.
Ia menegaskan dalam kasus kapal Zuhro terbukti bahwa pengawasan pemerintah sangat lemah.
"Pada manives daftar penumpang di kapal itu mencatat 100 orang. Namun kenyataannya jumlah penumpang di kapal naas itu mencapai 180 orang," katanya.
Meskipun kapasitas kapal Zahro mampu mengangkut hingga 250 penumpang, katanya namun adanya perbedaan data tersebut membuktikan pengelola kapal tidak menjalankan Standar Operasional Prosedur (SOP) dengan baik.
Oleh karena itu, katanya tragedi kapal Zahro Express, menunjukkan lemahnya pengawasan dan diabaikannya faktor keselamatan sebagai hak esensial bagi setiap penumpang angkutan umum.
Akibatnya, kebakaran di kapal Zahro telah menyebabkan 23 orang meninggal dan belasan penumpang hilang.
Ia juga menilai Menteri Perhubungan harus bertanggungjawab terhadap kasus ini.
"Apalagi penanganan sesaat setelah terjadi bencana di kapal Zahro sangat lamban, sehingga banyak korban berjatuhan," tegasnya.
Meski begitu, Fathan menggarisbawahi bahwa secara regulasi sesungguhnya pengaturan angkutan laut sudah sangat ketat dan baik.
Selain diatur dalam UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, sistem angkutan laut juga mengacu pada Peraturan Menteri Perhubungan No.37 Tahun 2015 tentang Standar Pelayanan Penumpang Angkutan Laut.
Peraturan menteri tersebut telah mengatur standar keselamatan pelayaran yang di dalamnya meliputi aspek sumber daya manusia, sarana prasarana, standar operasional prosedur, lingkungan dan sanksi.
"Kelemahan paling mendasar kita adalah implementasi. Semua aturan telah dibuat dan celakanya itu banyak yang dilanggar. Akan sangat elegan jika Menhub Budi Karya bisa menjelaskannya dalam sebuah Pansus," katanya.
Sebelum kasus kapal Zuhro, kecelakaan juga terjadi pada kapal Rafelia II di Selat Bali.
Seperti kasus Zahro Express dalam kecelakaan ini ditemukan fakta data manives kapal berbeda dengan jumlah penumpang di dalam kapal.
Kemudian pada September 2016 sebuah kapal pengangkut wisawatan asing juga meledak di perairan Bali dan menewaskan dua turis asing.
"Kita berharap pada tahun 2017 ini kasus-kasus kecelakaan kapal tidak terjadi lagi. DPR akan mendorong terbentuknya Pansus agar penanganan dan pengawasan sistem angkutan laut kita terjamin keamanannya," demikian Fathan.
(E008/H007)
Pewarta: Edy Sujatmiko
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017
Tags: