Jakarta (ANTARA News) - KPK mengajukan banding terhadap vonis mantan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta dari fraksi Partai Gerindra Mohamad Sanusi yang pekan lalu dijatuhi vonis 7 tahun penjara ditambah denda Rp250 juta subsider 2 bulan kurungan.

"KPK akan melakukan banding terhadap putusan dengan terdakwa Sanusi karena terdapat 3 aset dari 10 yang dimohonkan, yang tidak diputuskan dirampas oleh hakim," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Kamis.

Pada 29 Desember 2016 lalu, majelis hakim mengembalikan tiga aset Sanusi yang seluruhnya bernilai Rp26,8 miliar dari nilai Rp45,28 miliar, yang diminta jaksa penuntut umum dirampas untuk negara karena dinilai berasal dari pencucian uang.

Properti yang harus dikembalikan terdiri dari dua bidang tanah dan bangunan untuk dijadikan gedung "Sanusi Center" di Jalan Mushola Rt 004 Rw 09 Kramat Jati seluas 469 meter persegi dan 330 meter persegi senilai Rp1,91 miliar dan Rp1,09 miliar.

Selanjutnya, satu unit tanah dan bangunan di Jalan Saidi No 23 Rt 011 Rw 007 Cipete Utara Kebayoran Baru seluas 410 meter persegi seharga Rp16,5 miliar yang diatasnamakan Jeffry Setiawan Tan, mertua Sanusi dari istri Evelin Irawan.

Serta satu unit tanah dan bangunan di jalan Haji Kelik Komplek Perumahan Permata Regency Glok F Kembangan Jakarta Barat seluas 206 meter persegi seharga Rp7,35 miliar atas nama istri pertama Sanusi Naomi Shallima.

"Estimasi nilai aset lebih dari Rp20 miliar. Selain itu banding juga akan diajukan terkait tidak dicabutnya hak politik terdakwa," tambah Febri.

Majelis hakim yang terdiri dari Sumpeno, Masud, Baslin Sinaga, Ugo dan Anwar memang menolak mencabut hak politik Sanusi.

"Mengenai pencabutan hak politik, majelis hakim tidak sependapat dengan penuntut umum karena masalah politik telah diatur dalam undang-undang tersendiri dan masyakaat yang akan menentukan pilihannya," kata ketua majelis hakim Sumpeno dalam sidang pada 29 Desember 2016.

JPU KPK mengajukan tuntutan 10 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 4 bulan kurungan dan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik bagi Sanusi selama 5 tahun setelah ia menjalani hukuman.

Tuntutan itu diajukan karena Sanusi dinilai terbukti menerima suap Rp2 miliar dari Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja dan melakukan pencucian uang senilai Rp45,28 miliar.


Sanusi terima putusan

Pengacara Sanusi, Maqdir Ismail menyatakan kliennya menerima putusan tersebut.

"KPK sudah banding, sedangkan kami mau terima. Artinya KPK tidak puas dengan putusan itu," kata Maqdir melalui pesan singkat yang diterima pada Kamis.

Maqdir juga menilai bahwa harta Sanusi yang diputuskan untuk dirampas hakim tidak bisa dibuktikan kejahatan awal (predicate crime). (baca: harta Sanusi yang diputuskan hakim dirampas)

"Aset yang disetujui oleh hakim saja tidak bisa dibuktikan predicate crime-nya. Tidak bisa dibuktikan sebagai hasil kejahatan. Tiga aset itu jelas-jelas milik orang lain dan dibeli oleh orang lain. Seharusnya mereka (KPK) menyadari proses peradilan itu untuk menegakkan hukum dan keadilan, bukan untuk menistakan orang," kata Maqdir.

"Pelanggaran hak asasi atas nama penegakan hukum harus dihentikan. Tidak ada lembaga atau negara boleh menggunakan hukum untuk menistakan orang atau merampas harta orang," tambahnya.

Sedangkan mengenai hak politik, menurut Maqdir bukan pemberian hakim, tapi merupakan hak asasi yang dilindungi Undang-undang Dasar.

"Mestinya ada pembatasan terhadap hak politik yang boleh dicabut, misalnya terbatas pada hak untuk dipilih sebagai pejabat publik, tidak termasuk hak untuk memilih," jelas Maqdir.