Jakarta (ANTARA News) - Konflik Israel dan Palestina belum menemukan titik temu untuk terciptanya dua negara yang hidup berdampingan dengan damai dalam perbatasan 1967.
Israel bahkan sepanjang 2016 disebutkan melanjutkan sejumlah pembangunan permukiman yang dinilai sebagai penghalang utama terciptanya perdamaian.

Terkait hal itu pada penghujung tahun, Jumat (23/12), Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mensahkan resolusi yang mendesak Israel agar menghentikan semua kegiatan permukiman di wilayah pendudukan Palestina.

Dewan 15-anggota tersebut kembali menegaskan kegiatan permukiman Yahudi "tak memiliki keabsahan hukum" dan merupakan pelanggaran nyata berdasarkan hukum internasional dan penghalang utama bagi tercapainya penyelesaian dua-negara antara Palestina dan Israel.

Resolusi kali ini menjadi berbeda karena 14 anggota DK memberi suara mendukung dan Amerika Serikat abstein, suatu hal yang tidak biasa terjadi.

Resolusi itu menuntut "Israel segera dan sepenuhnya menghentikan semua kegiatan permukiman di wilayah Palestina yang diduduki, termasuk di Jerusalem Timur, dan negara Yahudi tersebut sepenuhnya menghormati semua kewajiban hukumnya berkaitan dengan itu".

Israel merebut Tepi Barat Sungai Jordan, bersama dengan Jalur Gaza, dalam Perang Timur Tengah 1967. Sekitar satu dasawarsa kemudian, kelompok sayap-kanan Israel mulai mendirikan permukiman di lahan yang diduduki tersebut.

PBB dan sebagian besar negara memandang permukiman itu, yang tidak sah berdasarkan hukum internasional, sebagai penghalang bagi perdamaian dan tindakan yang ilegal.

Palestina telah berikrar untuk tidak kembali ke meja perundingan kecuali Israel membekukan pembangunan permukimannya di Tepi Barat dan Jerusalem Timur.


Israel Kecam AS dan PBB
Keputusan tidak biasa AS untuk tidak menggunakan hal veto (menolak) sehingga DK PBB pun secara bulat meminta agar Israel menghentikan pembangunan permukiman di wilayah Palestina yang mereka duduki, menuai kecaman Israel, sekutu lamanya.

Keputusan diambil di tengah tekanan berat dari Israel yang telah sekian lama menjadi sekutu utama AS serta permintaan presiden terpilih AS Donald Trump agar Washington menggunakan hak vetonya.

Menteri Energi Israel Yuval Steinitz dilaporkan mengatakan bahwa AS telah meninggalkan Israel. Ia menilai resolusi itu sebagai antiIsrael.



Sementara itu Perdana Menteri Israel Banjamin Netanyahu menegaskan negaranya akan meninjau kembali hubungannya dengan PBB pascaresolusi itu.

Saat pemungutan suara di Dewan Keamanan, AS tidak menggunakan hak veto terhadap rancangan seperti yang telah sering dilakukannya. Netanyahu menyebut keputusan AS itu sebagai sikap yang "memalukan".

"Saya sudah meminta Kementerian Luar Negeri untuk dalam waktu satu bulan menyelesaikan peninjauan kembali seluruh hubungan kita dengan Perserikatan Bangsa-bangsa, termasuk pemberian dana Israel ke lembaga-lembaga PBB serta keberadaan perwakilan PBB di Israel," kata Netanyahu dalam pidato yang disiarkan.

Sambutan Dunia
Di lain pihak, resolusi itu disambut baik oleh Liga Arab, terutama setelah serangkaian usulan resolusi yang gagal.


Sekretaris Jenderal Liga Arab Ahmed Aboul-Gheit menyebut resolusi itu sebagai penyelamat solusi dua negara. Senada dengan Sekretaris Jenderal PBB Ban Kimoon.

Aboul-Gheit menyampaikan penghargaan atas "sikap berani" yang disahkan oleh negara yang memberi suara mendukung resolusi tersebut.

Ia menilai resolusi itu "akhirnya mengarah kepada konsensus internasional yang tak pernah dicapai sebelumnya dan menyerukan dihentikannya pembangunan permukiman Yahudi".

Kantor berita Xinhua melaporkan jika pada awal Desember, Knesset, Parlemen Israel, mulanya menyetujui dua rancangan kontroversial pro-permukiman yang dimaksudkan untuk, berlaku surut, mensahkan sebanyak 4.000 rumah serta pos depan tidak sah Israel dan memungkinkan pengambil-alihan kembali lebih banyak tanah Palestina di Tepi Barat Sungai Jordan.

Disebutkan pula lebih dari 400.000 pemukim Yahudi saat ini tinggal di Tepi Barat dan sedikitnya 200.000 orang lagi tinggal di Jerusalem Timur, yang diinginkan Palestina sebagai Ibu Kota Negara masa depan Palestina. Sayangnya bertahun pembahasan masalah pemukiman bagai menemui jalan buntu, resolusi bagi Israel juga bukan pertama kalinya dijatuhkan.

Namun di atas semuanya, pengesahan resolusi kali ini menunjukkan bahwa pada 2016 rakyat Palestina tidak sendirian dalam menghadapi ketidak-adilan dan kolonisasi.

Presiden Palestina Mahmoud Abbas bahkan menyampaikan harapan besarnya agar 2017 menjadi tahun diakhirinya pendudukan Israel pascakonferensi internasional bagi perdamaian Timur Tengah yang akan diselenggarakan di Paris pada Januari 2017.

(T.G003/B/T007/T007)