Jakarta (ANTARA News) - Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayor Jenderal TNI Wuryanto, menegaskan dan memastikan tidak akan ada intervensi dari siapapun dalam proses hukum terhadap personel-personel aktif TNI.

Dia katakan itu kepada pers, bersama Komandan Pusat Polisi Militer TNI, Mayor Jenderal TNI Dodik Widjanarko, di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, terkait dugaan suap dalam proyek pengadaan alat monitoring satelit di Badan Keamanan Laut, menggunakan dana APBN-P 2016.


Diduga pelakunya adalah Direktur Data dan Informasi Badan Keamanan Laut, Laksamana Pertama TNI Bambang Udoyo.

Menurut dia, proses peradilan nanti akan dilaksanakan secara terbuka, tegas, tak ada intervensi dari siapapun. "Silakan memonitor dalam persidangan, tentunya setelah penyidikan selesai," katanya. Sebetulnya banyak persidangan di Mahkamah Militer yang bersifat terbuka; salah satu yang tertutup adalah kasus susila.

TNI, kata Wuryanto, tidak akan melindungi personel TNI yang terlibat korupsi. TNI siap membantu penegak hukum untuk menyeret para prajurit yang terlibat korupsi.

"Prinsipnya, siapapun prajurit TNI yang terlibat pelanggaran akan ditindak sesuai hukum berlaku," tegasnya.

Wuryanto, atas nama Panglima TNI, Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, menyampaikan terimakasih kepada KPK yang telah membongkar praktik suap di Badan Keamanan Laut.

Kasus ini berawal dari operasi tangkap tangan KPK terhadap Deputi Informasi Hukum dan Kerja Sama Badan Keamanan Laut, Eko S Hadi, pada 14 Desember lalu. Dalam pengembangan, Udoyo sebagai pejabat pembuat komitmen dalam proyek pengadaan sistem pengamatan Badan Keamanan Laut diduga ikut menerima suap.



Akhir tahun 2016 juga ditutup dengan kenyataan bahwa helikopter transport Finmeccanica AW-101 yang sebelumnya telah dibatalkan kontraknya oleh panglima TNI tetap dibeli TNI AU, dengan alasan telah "melalui kajian spesifikasi teknis".




Satu unit AW-101 itu diketahui seharga 55 juta dolar Amerika Serikat, yang dikatakan juga meliputi biaya pelatihan, suku cadang, dan beberapa tambahan instrumen. Dana yang dipakai dikatakan berasal dari dana 2015.




Tidak kurang Presiden Jokowi memberi reaksi atas pembelian AW-101 yang "telah dilarang" itu dan memerintahkan membentuk tim investigasi gabungan.