Jakarta (ANTARA News) - Data jaringan penggerak kebebasan berkespresi online SAFEnet mengungkap bahwa Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagian besar menjerat laki-laki.

"Paling banyak laki-laki terlapor tapi justru itu menunjukan bahwa korban terbanyak adalah perempuan," kata relawan SAFEnet koordinator Sulawesi Selatan, Daeng Ipul, dalam "Dialog Dinamika UU ITE Pasca Revisi," di Jakarta, Rabu.

Dari 2008 hingga 15 Desember 2016 SAFEnet mencatat UU ITE sudah menjerat 225 orang. Dari jumlah itu, hanya 177 kasus yang telah terverifikasi atau bisa dicatat dengan detail karena berkasnya lengkap.

Meski demikian, menurut Daeng jumlah kasus UU ITE lebih dari itu.


"Kami percaya jumlah sebenarnya lebih besar karena ini yang tercatat di media, dan oleh teman-teman. Tapi rasanya jauh lebih besar," ujar dia.

Dari data tersebut golongan penguasa tercatat paling banyak melaporkan, yaitu sebanyak 36,72 persen atau 65 kasus. Tidak beda jauh, posisi kedua ditempati golongan profesional denhan persentase 22 persen atau 39 kasus.

"Penguasa dan profesional lebih dari 50 persen karena yang punya kuasa atau yang punya uang lebih mudah melapor," kata Daeng Ipul.

"Lebih banyak penguasa dan yang punya uang itu lebih gampang baper. Kalau ditingkat warga biasa kita lihat di FB maki-makian segala macam tapi tidak berakhir di pengadilan, tapi bagi mereka yang punya uang, punya kuasa, diteruskan ke pengadilan," sambung dia.

Medium yang paling banyak digunakan para pelapor 56,5 persen Facebook, kemudian Twitter sebanyak 12,4 persen. Sementara itu, pasal yang paling banyak digunakan adalah pasal 27 ayat 3.

Pasal 27 ayat 3 UU ITE, yang berbunyi "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/ pencemaran nama baik," tercatat digunakan di 141 laporan atau 79,3 persen dari total jumlah laporan.

Secara keseluruhan, laporan terkait UU ITE tahun ini meningkat lebih dari dua kali lipat dibanding tahun lalu, yaitu 29 kasus pada 2015 dan 77 kasus pada 2016.

"Jumlah ini dari Aceh sampai Maluku, Papua belum karena kami belum ada data, mungkin belum ada kejadian atau apa kami belum tahu," ujar Daeng Ipul.