Jakarta (ANTARA News) - Pengamat Intelijen dari Institute For Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan penegakan hukum, peran intelijen keamanan, dan komunikasi politik pemerintah harus dikedepankan dalam pemberantasan terorisme.
"Kita juga harus konsisten terorisme bukan bagian dari ajaran agama apa pun, pemerintah perlu mengajak semua komponen bangsa meningkatkan daya tahan dan tidak menyemai bibit-bibit ancaman kejahatan berlandaskan kebencian ini seperti diskriminasi, kesenjangan sosial, pemarjinalan, dan lain sebagainya," kata Khairul dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Minggu.
Ia menjelaskan bahwa kesadaran religus sedang meningkat tajam belakangan ini dan hal tersebut tentu saja sangat positif.
Masalahnya, kata dia, konsolidasi umat pasca aksi 4/11 dan 2/12, tak hanya meningkatkan "gairah" (semangat), namun bermunculan juga kelompok atau golongan baru yang dapat dikatakan belum jelas alirannya dan berpotensi mengajak umat memilih "jalan perjuangan" ekstrem.
"Jadi apakah bisa dibilang bahwa munculnya gerakan-gerakan perjuangan di umat Islam belakangan ini justru membawa angin segar buat kelompok teror? Tentu tidak langsung," tuturnya.
Menurut dia, potensi ancaman juga tak serta merta meningkat secara langsung, hanya saja eforianya yang perlu diwaspadai terutama di kalangan apa yang disebut kelompok "muslim baru" itu.
"Karenanya, penting bagi para ulama dan tokoh-tokoh agama untuk menjaga barisan umat tetap rapat dan solid," ujarnya.
Bagaimanapun, kata Khairul, perang global melawan terorisme telah gagal karena bukannya mereda, kelompok teror bahkan bermetamorfosis menjadi kelompok aksi insurgensi dengan persenjataan memadai, dukungan logistik, dan teroganisir rapi.
Sementara, bicara insurgensi, ia mengatakan tentu saja lawan efektifnya adalah operasi militer.
"Apakah ini semua hendak mengarah dan digiring ke sana? Semoga tidak. Biayanya sangat mahal dan lebih baik digunakan untuk memperkuat daya tahan masyarakat. Karena virus terorisme masih akan tetap eksis selama kita belum bisa menghilangkan ketidakadilan, kesenjangan, kemiskinan dan kebodohan," tuturnya.
Ia menambahkan bahwa Polri dan para pemangku pemberantasan terorisme jangan kehilangan kecerdasan.
"Kegagalan meyakinkan masyarakat hanya akan berarti satu hal, kehilangan sumber informasi terbaiknya, yaitu masyarakat," kata Khairul.
Sebelumnya, pada Rabu (21/12), Densus 88 Antiteror Mabes Polri mengamankan empat terduga teroris di Tangerang Selatan, tiga orang diantaranya tewas setelah berupaya melawan petugas.
Pengamat: komunikasi politik harus dikedepankan dalam pemberantasan terorisme
25 Desember 2016 16:14 WIB
Ilustrasi: Aplikasi Stop Terorisme yang dirilis Polri. (ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/foc/16)
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016
Tags: